
Bagi Kierkegaard objektivitas bukanlah suatu kebenaran, bahkan adalah suatu hal yang konyol apabila kekuatan numerik dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran yang nyata. Namun baginya, subjektivitaslah yang menjadi kebenaran utama. Karena yang menjadi pangkal tolak pengamatan adalah manusia sebagai seorang subjek, dan setiap manusia tidaklah sama, mereka memiliki ketunggalan pribadi masing-masing dan perbedaan-perbedaan kualitatif satu sama lain. Justru dalam proses penyamarataan yang menekankan pentingnya unsur objektivitas, individu pribadi akan mengalami alienasi dan tidak menjalani eksistensinya secara sejati karena keasliannya teredam oleh suara yang dominan atau banyaknya massa. Dengan begitu hidupnya tidaklah berarti, karena ia pada akhirnya hanya menjadi manusia bentukan massa belaka.
Manusia yang nyata dan menjalani eksistensi sejatinya adalah manusia yang dapat tampil secara berbeda dan menyertakan unsur etis dan religius dalam penghayatannya. Sedangkan kesamaan baginya hanyalah di hadapan Tuhan. Taraf religius bagi Kierkegaard merupakan taraf eksistensi yang tertinggi, karena pada taraf ini manusia tampil dengan kesejatiannya secara utuh berdasarkan penghayatan subjektif.
Kierkegaard mengimani Tuhan karena ia sadar bahwa ada banyak hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia dan ketidakpastian objektif tentang Tuhan. Tanpa adanya cobaan, maka tidak ada keimanan. Baginya keimanan merupakan kontradiksi dari titik kulminasi yang disebabkan oleh pikiran individu yang tidak terkatakan karena ketidakpastian objektif. Oleh karena Tuhan merupakan objek yang absurd, maka dibutuhkan cara yang absurd pula untuk mencapainya.
STUDI TEKS
Faith and Subjectivity: Søren Kierkegaard: Conclusing Unscientific Postscript
Sumber gambar: http://www.google.com/
Sumber gambar: http://www.google.com/
No comments:
Post a Comment