Sunday, March 17, 2013

Relasi antara Consciousness, Unconscious, dan Hermeneutika Menurut Pemikiran Jacques Lacan

Pendahuluan
            Menurut psikoanalisis Perancis Jacques Lacan (1901-1981), realitas merupakan tempat pelarian orang dari mimpi-mimpinya. Mimpi di sini adalah sesuatu yang berada pada alam bawah sadar (unconscious), juga merupakan suatu  hal yang lebih menakutkan daripada realitas. Mengapa demikian? Karena di dalam mimpi itulah seseorang merasakan, apa yang sebenarnya dia rasakan—suatu perasaan yang tidak enak. Untuk itulah diciptakan orde simbolik—konstruksi fantasi untuk menopang realitas yang kita alami sehari-hari, yang menstruktur relasi (mengatur interaksi subjek satu dengan subjek lain), dan menyembunyikan the Real. The Real di sini sembunyikan oleh apa yang kita sebut sebagai moral command  yang diturunkan dari the-name-of-the-father.
            Oleh karena itu, siapa kita akan selalu terkonstruksi oleh orang lain, tapi ada satu hal yang tidak dapat dikonstruksi oleh the other atau dijelaskan oleh orde simbolik, yaitu the Real.
            Poin penting yang harus kita catat dari penjelasan di atas adalah relasi antara consciousness (orde simbolik yang di dalamnya terdapat moral command) dan unconscious (mimpi yang berisikan the Real) saling tumpang tindih. 

Untuk mengatahui hubungan antara unconcious, consciousness, dan hermeneutika lebih detail lagi, sekiranya kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa itu the Real.

What is The Real?

 
Untuk menjelaskan apa itu the Real, pertama-tama Lacan menggambarkan relasi antara objek primordial, The Thing (the mother), objek a, dan fundamental fantasy:
         Objek primordial adalah kesatuan ibu dan anak sebelum terjadi frustasi primordial. Pada masa ini si subjek masih tidak bisa membedakan apa yang eksterior dan interior, ia seperti berada dalam totalitas tanpa batas. Kemudian, setelah terjadi frustasi primordial, subjek terpisah dari ibunya. Dalam konsep Lacan ibunya ini disebut sebagai the Thing. Keberadaan the Thing ini baru akan disadari subjek ketika ia telah kehilangan dirinya (the Thing). Maka yang ditemukan oleh si subjek di tempat ibunya itu, hanyalah jejak. Jejak inilah yang dinamakan Lacan sebagai objek a. Objek a ini sifatnya dapat diakses dalam dunia simbolik, akan tetapi juga sudah lack in itself sebelum ditransendensikan ke dalam simbol-simbol. Jadinya, ketika objek a telah diubah ke dalam bentuk simbolik, yang bisa kita kenali hanyalah jejak-jejak. Jejak-jejak yang dimaksud adalah
(1)   Jejak dari the Thing yang independen dari dunia simbolik, dan
(2)   Jejak simbolik dari jejak yang independen dari simbolik tadi. Tanda-tanda dalam dunia simbolik ini disebut jejak juga karena tanda tidak pernah hadir sepenuhnya.
           Proses transendensi objek a ke dalam simbol ini terjadi di fundamental fantasy. Selain tempat terjadinya proses simbolisasi, fundamental fantasy juga merupakan tempat terjadinya sublimasi dan hasrat-hasrat subjek bersarang. Menurut Freud, subjek ini dapat menemukan objek realitas sejauh ia terhubung secara aktual dalam masa pencariannya dengan objek primordial yang telah hilang itu (the Thing). The Thing ini hanya terletak dalam fundamental fantasi bawah sadar (unconscious). Namun dalam realitas sehari-hari, terdapat orde simbolik yang di dalamnya terdapat moral command (superego). Seperti larangan incest pada Oedipus Complex yang timbul karena the name of  father. Dan ternyata moral command ini malah menimbulkan jouissance dari rasa sakit karena tidak dapat memiliki The Thing. Oleh karena itulah, mengapa the Thing dikatakan oleh Lacan sebagai objek yang telah hilang dan tidak akan pernah ditemukan kembali. Karena dalam usaha pencariannya, subjek malah terpenjara dalam paradoks antara id dan superego yang dapat menimbulkan jouissance.  Padahal letak the Thing ada di alam bawah sadar (unconscious), yang mana bertentangan dengan superego yang berada dibawah kendali consciousness. 
            Superegoic jouissance inilah yang memenjarakan subjek ke dalam suatu repetisi yang mengabadikan paradoks antara id dan superego. Dikatakan di sini bahwa repetisi merupakan usaha pengulangan primordial yang selalu mengalami kegagalan namun justru dapat memberikan jouissance yang tak pernah terpuaskan. Jadi pada akhirnya The Real tidak akan pernah terungkap oleh si subjek.
            Dapat dikatakan bahwa apa yang dimaksud dengan the Real oleh Lacan ini,  sama dengan yang apa yang dimaksud sebagai ‘makna’ oleh Jacquest Derrida. Suatu pemahaman yang utuh tentang the Thing.
Kesimpulan
        Menafsirkan sebuah teks, atau berupaya untuk menyibak suatu makna yang terkandung dalam teks adalah pekerjaan seorang hermeneut. Akan tetapi mungkinkah ia dapat menghasilkan suatu makna yang sejati atau the Real? Jika mengacu pada pemikiran Lacan, hal tersebut tidaklah mungkin. Karena tidak ada satu pun konsep yang dapat mendeskripsikan seluruh partikularitas yang di dalamnya. Sebab tanda-tanda baik yang bisa diakses dalam dunia simbolik, maupun yang independen dari dunia simbolik, tidak pernah hadir seutuhnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah represi superego terhadap id / orde simbolik terhadap mimpi / consciousness terhadap unconscious.
 Satu-satu hal yang bisa dilakukan oleh seorang hermeneut adalah diskursus--melakukan interpretasi makna terus-menerus sesuai konteks dan kebutuhan.

Daftar Pustaka
 
Zizek, Slavoj. 2001. On Belief: Thinking in Action. New York: Routledge.

Chiesa, Lorenzo. 2007. Subjectivity and Otherness: A Philosophical Reading of Lacan. Cambridge: Massachusetts Institute of Technology.

No comments:

Post a Comment