Pendahuluan
Menurut psikoanalisis Perancis Jacques Lacan (1901-1981), realitas merupakan
tempat pelarian orang dari mimpi-mimpinya. Mimpi di sini adalah sesuatu yang
berada pada alam bawah sadar (unconscious),
juga merupakan suatu hal yang lebih
menakutkan daripada realitas. Mengapa demikian? Karena di dalam mimpi itulah
seseorang merasakan, apa yang sebenarnya dia rasakan—suatu perasaan yang tidak
enak. Untuk itulah diciptakan orde simbolik—konstruksi fantasi untuk menopang
realitas yang kita alami sehari-hari, yang menstruktur relasi (mengatur
interaksi subjek satu dengan subjek lain), dan menyembunyikan the Real. The Real di sini sembunyikan oleh apa yang kita sebut sebagai moral command yang diturunkan dari the-name-of-the-father.
Oleh karena itu, siapa kita akan
selalu terkonstruksi oleh orang lain, tapi ada satu hal yang tidak dapat
dikonstruksi oleh the other atau dijelaskan
oleh orde simbolik, yaitu the Real.
Poin penting yang harus kita catat
dari penjelasan di atas adalah relasi antara consciousness (orde simbolik yang di dalamnya terdapat moral command) dan unconscious (mimpi
yang berisikan the Real) saling tumpang
tindih.
Untuk mengatahui
hubungan antara unconcious, consciousness,
dan hermeneutika lebih detail lagi, sekiranya kita perlu mengetahui terlebih
dahulu apa itu the Real.
What is The Real?
Untuk menjelaskan apa
itu the Real, pertama-tama Lacan menggambarkan relasi antara objek primordial, The Thing (the mother), objek a, dan fundamental fantasy:
Objek primordial
adalah kesatuan ibu dan anak sebelum terjadi frustasi primordial. Pada masa ini
si subjek masih tidak bisa membedakan apa yang eksterior dan interior, ia seperti
berada dalam totalitas tanpa batas. Kemudian, setelah terjadi frustasi
primordial, subjek terpisah dari ibunya. Dalam konsep Lacan ibunya ini disebut
sebagai the Thing. Keberadaan the Thing ini baru akan disadari subjek
ketika ia telah kehilangan dirinya (the
Thing). Maka yang ditemukan oleh si subjek di tempat ibunya itu, hanyalah
jejak. Jejak inilah yang dinamakan Lacan sebagai objek a. Objek a ini sifatnya
dapat diakses dalam dunia simbolik, akan tetapi juga sudah lack in itself sebelum ditransendensikan ke dalam simbol-simbol.
Jadinya, ketika objek a telah diubah ke dalam bentuk simbolik, yang bisa kita
kenali hanyalah jejak-jejak. Jejak-jejak yang dimaksud adalah
(1) Jejak
dari the Thing yang independen dari
dunia simbolik, dan
(2) Jejak
simbolik dari jejak yang independen dari simbolik tadi. Tanda-tanda dalam dunia
simbolik ini disebut jejak juga karena tanda tidak pernah hadir sepenuhnya.
Proses
transendensi objek a ke dalam simbol ini terjadi di fundamental fantasy. Selain tempat terjadinya proses simbolisasi, fundamental fantasy juga merupakan
tempat terjadinya sublimasi dan hasrat-hasrat subjek bersarang. Menurut Freud,
subjek ini dapat menemukan objek realitas sejauh ia terhubung secara aktual
dalam masa pencariannya dengan objek primordial yang telah hilang itu (the Thing). The Thing ini hanya terletak dalam fundamental fantasi bawah sadar
(unconscious). Namun dalam realitas
sehari-hari, terdapat orde simbolik yang di dalamnya terdapat moral command (superego). Seperti larangan incest pada Oedipus Complex
yang timbul karena the name of father. Dan ternyata moral command ini malah menimbulkan jouissance dari rasa sakit karena tidak dapat memiliki The Thing. Oleh karena itulah, mengapa the Thing dikatakan oleh Lacan sebagai
objek yang telah hilang dan tidak akan pernah ditemukan kembali. Karena dalam
usaha pencariannya, subjek malah terpenjara dalam paradoks antara id dan superego yang dapat menimbulkan
jouissance. Padahal letak the Thing ada di alam bawah sadar (unconscious), yang mana bertentangan
dengan superego yang berada dibawah
kendali consciousness.
Superegoic
jouissance inilah yang memenjarakan subjek ke dalam suatu repetisi yang
mengabadikan paradoks antara id dan superego. Dikatakan di sini bahwa
repetisi merupakan usaha pengulangan primordial yang selalu mengalami kegagalan
namun justru dapat memberikan jouissance yang
tak pernah terpuaskan. Jadi pada akhirnya The
Real tidak akan pernah terungkap oleh si subjek.
Dapat dikatakan bahwa
apa yang dimaksud dengan the Real
oleh Lacan ini, sama dengan yang apa
yang dimaksud sebagai ‘makna’ oleh Jacquest Derrida. Suatu pemahaman yang utuh
tentang the Thing.
Kesimpulan
Menafsirkan
sebuah teks, atau berupaya untuk menyibak suatu makna yang terkandung dalam teks adalah pekerjaan seorang hermeneut.
Akan tetapi mungkinkah ia dapat menghasilkan suatu makna yang sejati atau the Real? Jika mengacu pada pemikiran
Lacan, hal tersebut tidaklah mungkin. Karena tidak ada satu pun konsep yang dapat
mendeskripsikan seluruh partikularitas yang di dalamnya. Sebab tanda-tanda baik
yang bisa diakses dalam dunia simbolik, maupun yang independen dari dunia
simbolik, tidak pernah hadir seutuhnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah
represi superego terhadap id / orde simbolik terhadap mimpi / consciousness terhadap unconscious.
Satu-satu hal yang bisa dilakukan oleh seorang hermeneut adalah diskursus--melakukan interpretasi makna terus-menerus sesuai konteks
dan kebutuhan.
Daftar Pustaka
Zizek,
Slavoj. 2001. On Belief: Thinking in
Action. New York: Routledge.
Chiesa,
Lorenzo. 2007. Subjectivity and
Otherness: A Philosophical Reading of Lacan. Cambridge: Massachusetts
Institute of Technology.
No comments:
Post a Comment