Monday, February 6, 2012

Kierkegaard: "Kebenaran itu subjektif"

Menurut Søren Aabye Kierkegaard (1813-1855) hidup bukanlah sesuatu yang sekedar kita pikirkan, namun juga harus kita hayati agar hidup kita menjadi bermakna. Agar dapat menghayati hidup, pertama-tama seseorang harus lebih dulu mengetahui dan menetapkan siapa dirinya seperti perkataan Sokrates “know thyself”, setelah itu barulah orang itu dapat mengetahui  arah dan tujuan hidupnya, kemudian bertindak sesuai kehendaknya sendiri dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri pula sebagai manusia yang individual dan subjektif.
            Bagi Kierkegaard objektivitas bukanlah suatu kebenaran, bahkan adalah suatu hal yang konyol apabila kekuatan numerik dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran yang nyata. Namun baginya, subjektivitaslah yang menjadi kebenaran utama. Karena yang menjadi pangkal tolak pengamatan adalah manusia sebagai seorang subjek, dan setiap manusia tidaklah sama, mereka memiliki ketunggalan pribadi masing-masing dan perbedaan-perbedaan kualitatif satu sama lain. Justru dalam proses penyamarataan yang menekankan pentingnya unsur objektivitas, individu pribadi akan mengalami alienasi dan tidak menjalani eksistensinya secara sejati karena keasliannya teredam oleh suara yang dominan atau banyaknya massa. Dengan begitu hidupnya tidaklah berarti, karena ia pada akhirnya hanya menjadi manusia bentukan massa belaka.
Manusia yang nyata dan menjalani eksistensi sejatinya adalah manusia yang dapat tampil secara berbeda dan menyertakan unsur etis dan religius dalam penghayatannya. Sedangkan kesamaan baginya hanyalah di hadapan Tuhan. Taraf religius bagi Kierkegaard merupakan taraf eksistensi yang tertinggi, karena pada taraf ini manusia tampil dengan kesejatiannya secara utuh berdasarkan penghayatan subjektif.
Kierkegaard mengimani Tuhan karena ia sadar bahwa ada banyak hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia dan ketidakpastian objektif tentang Tuhan. Tanpa adanya cobaan, maka tidak ada keimanan. Baginya keimanan merupakan kontradiksi dari titik kulminasi yang disebabkan oleh pikiran individu yang tidak terkatakan karena ketidakpastian objektif. Oleh karena Tuhan merupakan objek yang absurd, maka dibutuhkan cara yang absurd pula untuk mencapainya.

STUDI TEKS
Faith and Subjectivity: Søren Kierkegaard: Conclusing Unscientific Postscript
Sumber gambar: http://www.google.com/

Jean Paul Sartre: "Manusia dikutuk untuk bebas."

Sartre (1905-1980) membuat perbedaan mendasar antara manusia (being-for-itself) dan benda pada umumnya (being-in-themselves). Manusia disebut being-for-itself olehnya, karena manusia memiliki kesadaran yang berarah-tujuan untuk memproyeksikan apa-yang-terberi padanya menjadi apa-yang-dikehendakinya melalui pilihan yang ia buat. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa pilihan atau tindakan yang dibuat oleh manusia selalu mengandung motif untuk menimbulkan sebab atau konsekuensi tertentu. Karena konsekuensi itu berasal dari pilihannya pribadi tanpa adanya paksaan dari pihak lain. Maka, konsekuensi dari pilihannya tersebut menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri sepenuhnya, ia tidak bisa menggantungkan tanggung jawabnya itu pada orang lain, tidak pula pada Tuhan. Sartre menggunakan istilah bad  faith untuk menyebutkan perilaku orang-orang yang melarikan diri dari tanggung jawabnya ini.
Beban berat yang harus dipikul oleh seseorang dalam menjalani eksistensinya tidak hanya itu saja (memikul tanggung jawab sendirian), namun ia juga harus mempertanggungjawabkan pilihannya itu terhadap seluruh kemanusiaan karena setiap pilihan yang dibuat oleh seseorang akan menciptakan pencitraan tertentu tentang manusia, dan pilihannya itu mengandung arti bahwa ia mengharapkan orang lain mengambil keputusan yang sama dengannya dalam situasi yang serupa. Maka menurut Sarte sebelum bertindak seseorang haruslah memperhitungkan segala konsekuensi dari tindakannya itu secara masak-masak, ia juga harus memperhitungkan aspek nilai dan manfaat dalam motifnya.
Dalam filsafatnya tentang kebebasan ini Sarte jelas menolak adanya determinisme. Manusia memiliki kebebasan yang mutlak  menurutnya untuk memaknai hidupnya sendiri, dan atas dasar itulah ia membuat pilihan. Bagi Sarte faktisitas bukanlah suatu determinasi, melainkan sesuatu yang hanya bisa dipertanggungjawabkan. Faktisitas itu sendiri adalah kefaktaan yang tidak mungkin ditiadakan atau dielakan, karena berada di luar dugaan dan pilihan kita. Seperti kelahiran, kebebasan, fakta tentang adannya orang lain, dan kematian.
Sartre mengatakan bahwa Eksistensi manusia tersebut baru akan berhenti sampai faktisitas absurd (kematian) datang, mengubah eksistensi menjadi esensi, dan melenyapkan faktisitas manusia tersebut untuk memilih (kebebasan).

STUDI TEKS
Condemned to be Free: Jean Paul Sartre, Being and Nothingness.
Sumber gambar: http://www.google.com/

Tinjauan Filosofis Babak I Epos Ramayana


http://www.google.com/

1.      Sinopsis babak I
Rsi Wiswamitra meminta bantuan Rama anak Raja Dasarata untuk melindungi pelaksanaan yadnya dari para asura. Setelah melaksanakan yadna, Rsi Wiswamitra mengajak Rama dan Laksmana mengikuti sayembara untuk memperebutkan Dewi Sita, anak Raja Janaka di Mithila. Rama berhasil memenangkan sayembara dan menikah dengan Sita di Mithila.
 Suatu ketika Dasarata yang sudah tua, ingin mengangkat Rama sebagai penggantinya. Mendengar Rama akan dinobatkan menjadi Raja, Kuni menghasut Kekayi. Kekayi menagih janji pada Dasarata:  1.   Mengangkat anak mereka, Bharata menjadi Raja dan
2.      Membuang Rama ke hutan selama 14 tahun
Dasarata tidak bisa menolak permintaan Kekayi karena sudah terikat janji dengannya. Rama pergi untuk menebus hutang ayahnya, Sita dan Laksmana turut menemaninya. Dasarata wafat dalam kesedihan. Tak lama setelah itu, Bharata pulang dari istana kakenya Aswapati. Kekayi menjelaskan apa yang telah terjadi. Bharata dan segenap rakyat lalu menyusul Rama ke Hutan, memintanya untuk kembali dan menjadi Raja. Rama menolak karena ia telah terikat oleh perintah ayahnya sekaligus ingin menumpas habis klen asura yang tiada hentinya membuat keresahan di bumi. 
Rama, Sita, dan Laksmana akhirnya menetap di Parwati, daerah hutan Dandaka yang berada di bawah kekuasaan rakshasi Sarpakenaka, adik Rahwana. Sarpakenaka iri pada Sita dan hendak membunuhnya. Laksmana datang melindungi Sita dan membuat Sarpakenaka terluka. Sarpakenaka lalu mengadu pada kaka iparnnya, Kara. Kara dan para asura membentuk angkatan perang, dan menggempur Rama, namun mereka kalah.
Sarpakenaka akhirnya mengadu pada Rahwana di Kerajaan Alengka. Rahwana bersama pamannya Marica yang awalnya sempat menentang keinginannya, menjalankan stategi untuk menculik Sita. Marica menyamar menjadi kijang kencana, Sita tertarik dan ingin memilikinya. Rama pun mengejarnya atas permintaan Sita. Ketika Rama sadar bahwa ia sudah pergi terlalu jauh dan kijang itu semakin sulit digapai, ia memanah kijang itu. Marica pun kembali ke wujud aslinya dan menjerit menirukan suara Rama. Sita memerintahkan Laksmana untuk menyusul Rama. Laksmana tengah mengetahui niat licik Marica dan menjelaskan pada Sita, namun Sita malah menuduhnya tak setia dan bermaksud kurang baik. Laksmana tersinggung, ia pergi menyusul Rama. Rahwana datang, dan menculik Sita. Sita berteriak, Jatayu sahabat Raja Dasarata datang untuk menolong, namun ia kalah. Sebelum Jatayu mati, ia memberitahu Rama bahwa Sita telah diculik Rahwana.

2.      Tinjauan Filosofis

·         Konfusianisme
Ramayana merupakan suatu epos yang kaya akan nilai-nilai luhur seperti Li, Chun Tzu, Te, dan Wen yang patut dijadikan teladan bagi masyarakat luas untuk mencapai harmoni. Li berkenaan dengan pelaksanaan ritual dan mengedepankan etika normatif (Zheng Ming), hal ini dapat kita temukan di antaranya pada begawan Wiswamitra yang melaksanakan ritual yagna demi memperkuat kebaikan di dunia dan menyenangkan para dewa-dewi, Dasarata yang bersikap murah hati kepada rakyatnya, dan rakyat Ayodhya yang setia pada sang penguasa. Chun Tzu—manusia yang cinta kebenaran, berwawasan luas, dan patuh pada adat istiadat, serta Te sebagai kekuatan untuk mengarahkan orang lain untuk melakukkan apa yang kita inginkan tanpa paksaan, dapat kita temukan di diri Rama. Dan Wen—pengantar kedamaian masyarakat melalui seni, tercermin pada Ayodhya dan Mithila yang memiliki peradaban mulia, kesenian yang halus, dan syair yang indah.
Dalam ajarannya, konfusius lebih menekankan kewajiban daripada hak. Dan jika terjadi konflik antar individu, salah satu pihak harus rela melepaskan haknya demi keluarga atau masyarakat. Seperti Rama yang bersedia mundur dari penobatannya sebagai raja demi melunasi hutang ayahnya, menjaga nama baik ras Ikswahu, dan demi memberantas kejahatan yang ada di bumi. Adapun Wiswamitra yang melaksanakan yagna bukan untuk kepuasan pribadinya, melainkan untuk kebaikan umat manusia.
Selain itu konfusius juga menekankan pentingnya mengatur diri sendiri. Karena seseorang baru akan mampu mengatur keluarga, selanjutnya masyarakat, negara, dan dunia, jika ia berhasil mengatur dirinya terlebih dahulu. Kemampuan mengatur dengan baik ini nampak jelas sekali pada pribadi begawan Wiswamitra.

REFERENSI

Wikipedia. 2011. “Ramayana” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana
diunduh pada 27 November 2011, pukul 17.09 WIB.

Narayan, R. K. 2004. Ramayana.  Bandung: Mizan Media Utama.

Satria, Wayan S. 2007. Sumbangan Pemikiran Cina kepada dunia:  Hand out kuliah Sejarah Filsafat Cina FIB-UI.

Komparasi Tiga Aliran Besar Psikologi

1. Psikologi Behavioristik 
Karakter menurut aliran psikologi behavioristik dibentuk dari faktor-faktor kondisional yang berasal dari lingkungan. Tokoh-tokoh dari aliran psikologi ini antara lain Thondike, Pavlov, Wabon, Ghuyhrie, dan Watson. Masing-masing dari mereka mengadakan penelitian mengenai tingkah laku dan proses belajar binatang, anak-anak, dan orang dewasa. Penelitian yang pertama kali dirintis oleh Thondike (1874-1949).  Dalam metode penelitiannya Ia menghadapkan objek penelitian pada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkannya melakukan berbagai aktivitas sebagai respon dari situasi itu. Dalam penelitiannya ini ia melihat bahwa objek penelitian akan belajar melakukan kegiatan tertentu melalui proses “trial and error” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus tertentu. Proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon oleh objek ini dinamakan teori connectionism. 

Dalam penelitiannya itu ia menemukan beberapa hukum:
·         Hukum kesiapan: Jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan.
·         Hukum latihan: Makin banyak dipraktekkan atau digunakan hubungan stimulus dan respon akan semakin kuat.
·         Hukum efek: Jika hubungan antara stimulus dan respon dibarengi dengan state of affairs yang memuaskan maka hubungan di antara keduanya akan menguat. Akan tetapi jika hubungan antara stimulus dan respon dibarengi dengan state of affairs yang mengganggu, maka kekuatan hubungan di antara keduanya justru akan melemah.
Kemudian teori connectionism ini dikembangkan oleh Ivan Pavlov. Ia  mengadakan penelitian labolatoris terhadap anjing mengenai stimulus dan respon. Ia memberikan perangsang bersyarat berupa bel atau lampu dan perangsang tak bersyarat berupa makanan, secara bersamaan pada anjing secara berulang-ulang. Setiap kali dikondisikan seperti itu, atau diberi stimulus yang sama,  anjing tersebut selalu mengeluarkan air liur sebagai responnya. Suatu ketika anjing tersebut hanya diberikan perangsang bersyarat, dengan membunyikan bel, respon anjing tersebut tetap sama. Tetap mengeluarkan air liur. Teori Pavlov ini disebut sebagai teori classkal conditioning. Menurut Pavlov pengkondisian yang dilakukan pada anjing tersebut, dapat juga berlaku pada manusia.
Teori ini lalu dikembangkan lagi oleh Watson menjadi teori conditioning. Menurut Watson, belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respon-respon bersyarat melalui stimulus pengganti. Manusia menurutnya dilahirkan dengan beberapa refleks emosional berupa takut, cinta, dan marah. Sedangkan tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan stimulus-respon baru melalui conditioning.
Pemikiran Watson ini kemudian diperluas oleh Gutrie (1935-1942). Gutrie mengemukakan prinsip belajar berupa hukum asosiasi. Menurut hukum ini, respon atas suatu situasi cenderung diulang manakala individu menghadapi situasi yang sama. Setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai stimulus dan respon. Watson berketepatan untuk membuat psikologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang patut dihargai sejajar dengan ilmu alam seperti fisika dan kimia. Dalam penelitiannya Ia mengabaikan introspeksi. Ia hanya mempelajari perilaku-perilaku yang dapat diamati saja menggunakan metode ilmiah yang obyektif.
Selanjutnya Skinner mengembangkan teori conditioning dengan menggunakan tikus untuk percobaannya. Dari hasil percobaannya ini ia membedakan dua macam respon. Respon yang tibul dari stimulus tertentu dan respon yang telah berkembang karena diikuti oleh perangsang atau instrumental tertentu (operant).

2.Psikoanalitik
Psikoanalisa pertama kali dirintis oleh Sigmund Freud. Sigmund Freud dalam psikologinya membahas tentang oppervlakte psychologie dan diepte psychologie. oppervlakte psychologie merupakan suatu penyelidikan akal, perasaan, dan tindak tanduk manusia. Ia berusaha mencari keterangan-keterangan tentang akal, dan apa yang terjadi pada waktu akal kita menerima objek-objek dari luar. Serta seluk-sebeluk emosi-emosi manusia yang dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar endokrin yang penting dalam membentuk temperamen atau perangai manusia. Sedangkan diepte psychologie merupakan studi tentang jiwa, hubungan jiwa dengan tubuh, bagaimana jiwa dapat menimbulkan penyakit pada organ tubuh manusia (psycho-somatis), serta alam sadar dan bawah sadar manusia.
Pada tahun 1900 Freud menerbitkan “Die Traumdeuting” yang menyibak adanya jiwa pra-sadar, jiwa tak sadar, dan mimpi-mimpi itu timbul dari jiwa tak sadar dari keadaan pra-sadar kita sewaktu tidur. Freud menemukan bahwa melalui mimpi-mimpi itulah kita dapat menyelami keadaan jiwa tak sadar kita sedalam-dalamnya, suatu gejala yang dapat dijadikan sumber studi sebab-sebab dari tingkah laku tak sadar kita, baik yang normal maupun abnormal, serta sebab-sebab dari gangguan jiwa dan penyakit-penyakit psycho-somatis.
Diepte psychologie disebut juga sebagai psikologi psikoanalik. Atau dalam bidang pendidikan sekarang sering disebut sebagai mental hygiene atau preventif psikologi yang digunakan untuk membantu orang-orang dewasa dan anak-anak dalam menyesuaikan diri pada lingkungan hidupnya yang sehat secara sosial. Psikoanalisis merupakan suatu studi baru dalam ilmu kedokteran psikologis yang diperuntukan untuk menyembuhkan penyakit psikosomatik dan neurosis secara rasional. Neuroris sendiri adalah suatu gangguan kejiwaan dimana penderita akan memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, mudah lelah, insomnia, depresi, kelumpuhan dan gejala – gejala lainnya yang berhubungan dengan adanya pertentangan batin dan tekanan jiwa.
Psikoanalisa secara praktis dan definitif berfungsi sebagai alat preventif penyakit jiwa pada anggota masyarakat. Tujuan utama dari psikoanalisa adalah mencari pengertian tentang sebab-sebab dari konflik-konflik emosional dalam jiwa tak sadar, untuk membebaskan manusia dari segala perasaan dengki, permusuhan, prasangka-prasangka, ketakutan, dan menyalurkan impuls-impulsnya pada jasa-jasa yang baik.
Psikoanalisa membantah klaim-klaim palsu dari penyembuhan spiritual, atau pengobatan mistik dari ilmu klenik. Menurut psikoanalisis penyakit-penyakit fungsional atau psikosomatis memang dapat disembuhkan dengan sugesti-sugesti apabila si pasien sungguh-sungguh percaya, akan tetapi kesembuhan yang didasarkan pada sugesti hanya akan bersifat sementara, karena yang sakit sebenarnya bukanlah anggota badan melainkan jiwa. Seorang pasien baru akan sembuh bila sebab-sebab psikologisnya ditemukan dan disadari oleh pasien melalui psokoanalisa.
Terapi psikoanalisa dapat ditempuh melalui dua cara yaitu hipnotis dan asosiasi bebas. Keduanya digunakan Freud dalam untuk mengangkat hal-hal yang selama itu terpendam dan dirahasiakan ke dalam alam sadarnya, yang menjadi sumber penyakitnya. Hipnotis digunakan Freud untuk mengembalikan ingatan pasien di masa lalu. Akan tetapi kemudian Freud menemukan kesulitan ketika memberikan terapi pada pasiennya melalui cara ini. Karena tidak semua orang dapat dihipnotis dan kalaupun gejala awal dapat disembuhkan, akan muncul gejala baru yang timbul akibat hipnotis ini.
Sedangkan asosiasi bebas merupakan terapi dengan cara membaringkan di atas sebuah tempat yang nyaman dan empuk, dan memberikan dorongan kepadanya agar ia mengucapkan apa saja saat itu yang melintas di dalam benaknya, dan melaporkan mimpi-mimpi mereka. Kemudian semua bahan yang terkumpul dari cara tersebut akan dianalisis. Analisis tersebut meliputi harapan, kecemasan, ketakutan, pertentangan batin, pikiran pikiran serta ingatan ingatan yang sudah jauh di luar kesadaran pasien. Cara ini dinilai lebih efektif bagi Freud dalam menyembuhkan pasien-pasiennya. Freud sendiri mengungkapkannya bahwa ketika seseorang berusaha mengungkapkan apa apa yang selama ini disembunyikan oleh alam sadarnya, pikiran orang tersebut sudah tidak dapat menyadari hal itu lagi.
Berdasarkan analisis Freud yang dilakukannya selama bertahun-tahun pada permasalahan pasien-pasiennya secara cermat, Freud kemudian mencoba menyusun suatu teori yang lengkap mengenai kepribadian normal ataupun tidak normal. Freudian sendiri memiliki keyakinan dasar bahwa:
1.      Psikolog sebaiknya mempelajari dengan tekun mengenai hukum dan faktor-faktor penentu di dalam kepribadian baik yang normal ataupun yang tidak normal, dan menentukan metode penyembuhan bagi gangguan kepribadian
2.      Motivasi yang tidak disadari, ingatan-ingatan, ketakutan-ketakutan, pertentangan-pertentangan batin, serta kekecewaan adalah aspek aspek yang sangat penting di dalam kepribadian. Dengan membawa gejala – gejala tersebut ke alam sadarnya sudah merupakan satu bentuk terapi bagi penderita kelainan atau gangguan kepribadian.
3.      Kepribadian seseorang terbentuk selama masa kanak-kanak dini. Dengan meneliti ingatan ingatan yang dimiliki seseorang ketika ia berusaha 5 tahun, akan sangat besar perannya bagi penyembuhan.
4.      Kepribadian akan lebih tepat bila dipelajari di dalam konteks hubungan pribadi yang sudah berlangsung lama antara terapis dan pasien. Selama terjadinya hubungan yang seperti itu, maka pasien dapat menceritakan segala pikiran, perasaaan, harapan, khayalan, ketakutan, kecemasan, mimpi kepada terapis sebagai instropeksi informal, dan tugas trapis ialah mengobservasi serta menginterprestasikan perilaku pasien.
Carl Gustav Jung yang tadinya sebagai pengikut Freud, dan kemudian berpisah dengannya mengatakan bahwa di samping adanya alam tak sadar individual seperti yang dikatakan oleh Freud, dan alam bawah tak sadar keluarga seperti yang dikemukakan oleh Szondi, terdapat pula semacam alam bawah sadar kolektif yang umum dan dimiliki oleh masyarakat, bangsa atau umat manusia. Alam bawah sadar kolektif itu dibuktikannya dengan menunjukan adanya simbol-simbol, lambang-lambang kebudayaan yang pada dasarnya mempunyai arti yang sama antara beberapa kebudayaan di dunia ini.

3. Psikologi Humanistik

Psikologi humanistik sebagai suatu gerakan formal dimulai di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 1950-an. Psikologi ini merupakan suatu gerakan perlawanan terhadap psikologi dominan yang mekanistik dan mereduksi manusia. Psikologi humanistik ini lahir sebagai kritik dan ketidakpuasan atas psikologi psikoanalisis dan psikologi behaviorisme yang mengabaikan unsur-unsur mentalistik fenomenolosis dan eksistensial. Ketidakpuasan utamanya tertuju pada psikologi behavioristik karena telah mendehumanisasi manusia. Psikologi behavioristik dianggap telah gagal dalam memberikan pemahaman tentang manusia dan kondisi eksistensialisnya.
Gerakan humanistik merefleksikan pertumbuhan keprihatinan di kalangan ilmuwan tentang nilai-nilai kemanusiaan dan tanggung jawab sosial dalam stuktur dan kegiatan-kegiatan mereka.
Tokoh-tokoh yang berkontribusi saat itu antara lain Abraham Maslow, Allport, Gardner Murphy, John Cohen, dan Egon Brunswik. Egon Brunswik inilah yang kemudian mendesak psikologi agar membebaskan diri dari ilmu pengetahuan alam yang nomotetik-reduksionis pada tahun 1954, menghumanisasi psikologi dengan memberikanan penekanan pada spontanitas kendali internal, keunikan manusia, dan masalah-masalah eksistensial. Menjadikan studi tentang manusia, tentang sifat dan eksistensinya sebagai sorotan utama dari psikologi. Pada tahun 1954 Maslow mengemukakan garis besar umum psikologi yaitu, orang-orang yang menaruh minat pada studi ilmiah tentang kreativitas, cinta, nilai-nilai yang lebih tinggi, otonomi, pertumbuhan, aktualisasi diri, dan pemuasan kebutuhan dasar.
Menurut Maslow, setiap orang memiliki rasa takut, seperti takut untuk berusaha atau berkembang, takut mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah dimiliki, dsb. tetapi hal itu mendorongnya untuk bisa maju ke arah kesempurnaan, kepercayaan diri dan pada saat itu juga dia dapat menerima diri sendiri.
Maslow membagi kebutuhan manusia menjadi bermacam-macam hierarki.

·         Kebutuhan Fisiologis
Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya. Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit, dan, seks.

·         Kebutuhan akan Rasa Aman
Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara layak, kebutuhan akan rasa aman mulai muncul. Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan keteraturan akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya.

·         Kebutuhan akan rasa kasih sayang
Ketika seseorang merasa bahwa kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka akan mulai timbul kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki. Hal ini dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim sepakbola, klub peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi, maka perasaan kesepian akan timbul.

·         Kebutuhan akan harga diri
Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan harga diri. Menurut Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul perasaan rendah diri dan inferior.

·         Kebutuhan akan aktualisasi diri
Kebutuhan terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri.

Selain itu pada tahun 1958 maslow menciptakan istilah ‘kekuatan ketiga’ untuk menyebut psikologi humanustik, sebagai psikologi nonbehavioristik dan nonpsikoanalitik yang mencangkup psikologi-psikologi yang berorientasi fenomenologis, eksistensialis, dan humanis. Istilah ini kemudian mendobrak popularitas Maslow dan menjadikannya dianggap sebagai pendiri psikologi humanistik. Ia sendiri menyangkal dan mengatakan bahwa psikologi humanistik adalah produk dari banyak individu dan merupakan asimilasi dari banyak pemikiran, khususnya eksitensialis dan fenomenologis.
Empat ciri psikologi humanistik yaitu:
1.      Memusatkan perhatian pada person yang mengalami dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam mempelajari manusia
2.      Menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti memilih, kreativitas, menilai, dan realisasi diri, sebagai lawan dari manusia yang mekanistik dan reduksionistik.
3.      Menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah-masalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitian yang akan digunakan, serta menentang penekanan yang berlebihan pada objektivitas yang mengorbankan signifikasi.
4.      Memberikan perhatian penuh pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu. Memang individu sebagaimana dia dan menemukan dirinya sendiri serta dalam hubungannya dengan individu-individu lain dan dengan kelompok-kelompok sosial.


Daftar Pustaka
Misiak, Henryk dan Sexton, Virginia Staudt. 1973. Phenomenological, Exixtential, and Humanistic Psychologies: A Historical Survey. New York: Grune & Stratton.

Soedjono. 1983. Pengantar Psikologi: untuk studi umum dan kemasyarakatan. Bandung: TARSITO.
Sumarno, Alim. 2011. “Teori-teori yang mengawali perkembangan psikologi behavioristik”
dalam  http://blog.tp.ac.id/teori-teori-yang-mengawali-perkembangan-psikologi-behavioristik, diunduh pada 28 September 2011, pukul 05.06 WIB.