Sunday, March 31, 2013

Paradigma Holisme-Ekologis: Solusi untuk Mengatasi Krisis Global

Pendahuluan
Sumber gambar: inspireyoursoul.tv

            Berbagai masalah yang timbul seperti dehumanisasi, ekspoitasi, ataupun kriminalitas menurut Fritjof Capra (1939-sekarang) disebabkan oleh kesalahan pada pola pikir manusia modern yang bersumber pada paradigma yang mereka gunakan. Paradigma yang dimaksud oleh Capra adalah paradigma mekanistik-linier Descartes dan Newton (paradigma Newtonian-Cartesian). Paradigma yang telah mendominasi masyarakat sains selama tiga abad belakangan ini, dinilai sudah tidak layak lagi digunakan, dan harus diganti dengan paradigma yang baru.
            Paradigma Newtonian-Cartesian mengobjekan dan mereduksi kosmos sebagai sebuah mesin besar yang berjalan secara mekanistik-deterministik, yang mana tersusun dari bagian-bagian yang saling terpisah dan bersifat materialistik. Segala sesuatu yang berada di luar mind (res cogitans) yaitu alam fisik (res extensa) dianggap sebagai the others yang digerakkan oleh suatu hukum tertentu yang mekanistik. Mind di sini dianggap sebagai jaminan satu-satunya bagi eksistensi subjek, yang mana terpisah dari alam material.
            Karena alam dipandang sebagai sebuah mesin yang berjalan mekanistik-deterministik, maka satu-satunya cara untuk memahami mesin tersebut tidak lain adalah dengan membongkar dan menelitinya. Di sini kemudian Newton, menetapkan mekanika sebagai ilmu fundamental tentang gerak benda-benda. Yang mana kemudian mekanikanya ini (yang mensyaratkan objektivitas dan rasionalitas) dijadikan sebagai model oleh ilmu-ilmu lain.
            Dari sini munculah kebiasaan orang untuk mengobjekan dan mereduksi kompleksitas alam. Alam dipecah-pecah menjadi bagian-bagian tertentu, interkoneksi diputus, dan relasi sebagai satu kesatuan utuh yang sistemik dilupakan. Ilmu itu sendiri difragmentasi menjadi dua golongan, yaitu ilmu alam yang berkaitan dengan res extensa dan ilmu kemanusiaan yang berkaitan dengan res cogitans. Dalam bukunya yang berjudul The Web of Life, Capra mengatakan bahwa “systemic properties are destroyed when a system is dissected, either physically or theoretically, into isolated elements.(1)


(1)     The Web of Life (London: Fritjof Capra, 1997) hlm. 292

            Paradigma Newtonian-Cartesian ini memang telah memberikan sumbangan yang luar biasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Namun di sisi lain, objektivikasi terhadap alam ini lama-kelamaan berubah menjadi suatu bentuk dominasi manusia terhadap alam, selain itu juga telah membuat kesadaran subjek tentang alam menjadi terpecah-belah. Pada akhirnya subjek menderita krisis multidimensional, dan alam pun menderita krisis global.
            Untuk mengatasi krisis global tersebut, Capra mengusulkan suatu paradigma sekaligus juga etika lingkungan hidup baru, yaitu paradigma holisme-ekologis. Holisme berasal dari kata Inggris whole yang berarti keseluruhan. Holisme adalah cara pandang yang menyeluruh terhadap realitas sebagai sesuatu yang sistemik, kompleks, dan dinamis. Sedangkan ekologis adalah cara pandang yang melihat kosmos sebagai satu kesatuan sistem yang komponen-komponennya saling berelasi dan interkoneksi satu sama lain. Singkatnya, paradigma ini melihat alam semesta sebagai sistem organis secara menyeluruh.
            Tujuan Capra membentuk paradigma holisme-ekologisi ini adalah untuk membentuk manusia-manusia yang memiliki etika lingkungan hidup (ecoliterate). Ia yakin hal tersebut dapat diwujudkan melalui program ekoliterasi.
            Dalam karya tulisnya, Capra cenderung menggunakan bahasa logis dan umum yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan, untuk mendemonstrasikan dan mendukung gagasan-gagasan etikanya. Hal tersebut dimaksudkan agar konsepsi filsafatnya ini tidak hanya dapat dipertanggungjawabkan secara teoritis, namun juga dapat diimplementasikan pada tingkat praktis.

Gagasan Tentang Manusia dan Lingkungannya
            Cogito ergo sum, merupakan diktum yang sangat terkenal dari Rene Descartes. Di sini ia menempatkan mind sebagai penjamin eksistensi manusia, sekaligus juga indikator yang membedakan manusia dengan hewan. Hewan dipandang olehnya sebagai suatu materi (automata kompleks) yang tidak memiliki mind, dan diatur oleh hukum alam fisik yang deterministik. Mind yang dimaksud olehnya ini adalah suatu substansi yang samasekali terpisah dari alam fisik.
            Melalui Teori Kognisi Santiago karya Humberto Matunara dan Varella, Capra membantah dulisme tersebut.  Menurut Teori kontemporer ini, tubuh dan jiwa merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Keterkaitan antara keduanya dibuktikan oleh konsep mind. Mind di sini pertama-tama tidak dapat disamakan dengan rasio (reason) atau jiwa (soul). Mind adalah kegiatan mental atau kognisi yang mengada dalam tubuh (embodied). Di sini diandaikan bahwa kegiatan berpikir (mind) selalu membutuhkan media berupa tubuh yang bersifat material, dan terikat oleh hukum alam.
            Hal yang dapat ditangkap dari Teori Kognisi Santiago adalah, ketidakterpisahan antara alam pikiran (res cogitans) dengan alam materi (res extensa) yang ditandai oleh suatu proses berpikir yang menubuh (embodied)—yaitu mind. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada pengamat yang independen, karena manusia selalu terikat oleh lingkungannya. Manusia dan lingkungannya merupakan entitas yang saling mempengaruhi dan tak terpisahkan satu sama lain.
            Bumi, lingkungan hidup kita merupakan sebuah sistem atau jejaring kehidupan, yang tersusun atas komponen-komponen yang saling terhubung dan saling mengisi satu sama lain untuk sebuah harmoni. Dalam sebuah sistem, apabila ada salah satu komponen yang terganggu, maka keseimbangan sistem secara keseluruhan pun akan terganggu. Menurut Capra, posisi manusia dalam jejaring (nexus) kehidupan ini memegang peran yang dominan. Ia mengatakan bahwa yang menjamin keberlangsungan peradaban, adalah kerjasama dan tanggung jawab kita (manusia) terhadap alam, bukan objektivikasi ataupun dominasi terhadapnya. The survival of our whole civilization may depend on wheter we can bring about such a change.” (2)  

Diktum Holisme-Ekologis
            Paradigma Newtonian-Cartesian dikenal dengan diktum Cogito ergo Sum (aku berpikir maka aku ada), sementara paradigma holisme-ekologis dikenal dengan Respondeo ergo Sum-nya (aku bertanggungjawab maka aku ada). Gagasan Respondeo ergo Sum mengatakan bahwa manusia berkewajiban untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai manusia, demi keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri.
            Pertanyaannya adalah, apa yang harus dipertanggungjawabkan oleh kita sebagai manusia? Jean Paul Sarte dalam bukunya Being and Nothingness mengatakan Man being condemned to be free carries the weight of the whole world on his shoulders; he is responsible for the world and for himself as a way of being.” (3)  Apa yang menurut Sartre harus dipertanggungjawabkan oleh kita, manusia, adalah faktisitas kita sebagai being-in-the-world (Dasein). Faktisitas adalah keterberian yang berada di luar pilihan kita, suatu kefaktaan yang tidak dapat disangkal ataupun dielakan, namun hanya dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya seperti kelahiran, kebebasan, ataupun eksistensi kita sebagai Dasein. Pemikiran Sartre ini senada dengan Capra. Dalam bukunya Capra menulis:

            “We are all members of humanity, and we all belong to the global biosphere. We are all members of oikos, the “Earth Household”, which is the Greek root of the “ecology”, and as such we should behave as the other members of the household behave- the plants, animals, and micro-organisms that form the vast network of relationships that we call the   web of life. This global living network has unfolded, envolved, and diversified for the last three billion years without even being broken. The outstanding characteristics of the Earth Household is its inherent ability to sustain life. As members of the global    community of living beings, it beholves us to behave in such way that we do not interfere with this inherent ability; this is the essential meaning of ecological sustainability. What is sustained in a sustainable community is not economic growth or development, but the entire web of life on which our long-term survival depends. It is designed so that its ways of life, business, economy, physical structures and technologies do not interfere with nature’s inherent ability to sustain life (Capra, The Hidden Connections, p 250).

(2)     The Turning Point (London: Fritjof Capra, 1983) hlm. xx
(3)    L’Etre et le NĂ©ant (Jean Paul Sartre, 1943) terj. Being and Nothingness (London: H.E. Barnes, 1957) hlm 231


Program Ekoliterasi: Manifestasi Paradigma Holisme-Ekologis di Tingkat Praktis

            Capra merangkum hasil pemikirannya ini ke dalam beberapa prinsip yang disebut sebagai prinsip-prinsip ekologis, yang mana akan disebarluaskan melalui program ekoliterasi. Ekoliterasi adalah suatu kondisi di mana seseorang dapat memahami dan menggunakan prinsip-prinsip ekologis untuk membangun komunitas-komunitas yang berkelanjutan.
            We need to become, as it were, ecologically literate. Being ecologically literate, or ‘ecoliterate’, means understanding the principles of organization of ecological communities (i.e. ecosystems) and using those principles for creating sustainable human communities. We need to revitalize our communities-including our educational communities, business communities, and political communities-so that the principles of ecology become manifest in them as principles of education, management, and politics.” (4)

Prinsip-prinsip ekologis disebarluaskan dalam program ekoliterasi, antara lain sebagai berikut:

Jaringan-jaringan
Pada semua skala alam, kita temukan sistem-sitem hidup yang berada dalam sistem hidup lain jaringan dalam jaringan. Batas-batas mereka bukanlah batas pemisah, melainkan batas identitas. Segala sistem hidup saling berkomunikasi dan berbagi sumber daya melintasi batas-batas mereka.

Siklus
Semua organisme hidup harus menyerap aliran materi dan energi terus-menerus dari lingkungan mereka untuk bertahan hidup, dan semua organisme hidup terus-menerus menghasilkan sampah. Akan tetapi, suatu ekosistem tidak menghasilkan sampah, karena sampah satu spesies menjadi makanan bagi spesies lain. Dengan demikian, materi terus menerus berputar dalam suatu jaring-jaring kehidupan.

Energi Matahari
Energi matahari, yang diubah menjadi energi kimia melalui fotosistesis tumbuhan hijau menggerakan siklus-siklus ekologis.

Kemitraan
Pertukaran energi dan sumber daya dalam suatu ekosistem didukung oleh kerjasama yang dapat menembus batas-batas. Kehidupan tidak mengambil alih planet ini melalui pertempuran, tetapi melalui kerjasama, kemitraan, dan membuat jaringan.

Keragaman
Ekosistem-ekosistem mencapai stabilitas dan ketahanan melalui kekayaan dan kompleksitas jaringan-jaringan ekologis mereka. Makin besar keragaman hayati mereka, makin tangguhlah mereka.

Keseimbangan Dinamis
Suatu ekosistem adalah jaringan fleksibel yang terus-menerus berfluktuasi. Fleksibilitasnya adalah konsekuensi banyak lingkaran umpan balik yang menjaga sistem dalam keadaan keseimbangan dinamis. Tak satupun variabel yang dimaksimalkan, segala variabel yang dimaksimalkan, segala variabel berfluktuasi sekitar nilai optimal mereka. (5)

(4)    The Web of Life (London: Fritjof Capra, 1997) hlm. 289
(5)    The Hidden Connections (London: Fritjof Capra, 2002) hlm. 251

DAFTAR PUSTAKA



Capra, Fritjof. 1997. The Web of Life: A New Synthesis of Mind and Matter. London: Flamingo.
-----------------. 1983. The Turning Point: Science, Society, and The Rising Culture.A New Synthesis of Mind and Matter. London: Flamingo.
-----------------. 2002. The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living. London: Harper Collins Publisher.
----------------. 1975. The Tao of Physics: An Exploration of The Parrarels Between Modern Physics and Eastern Mysticism. Fontana: Wildwood House.
Setiawan, Otto Trengginas. 2006. Skripsi:  Filsafat Holisme Ekologis: Tanggapan Terhadap Paradigma Cartesian-Newtonian Menurut Pemikiran Fritjof Capra. Depok: UI Press.
Sartre, Jean Paul. 1957. Being and Nothingness, (Trans. H. E. Barnes). London: Methuen.

Sunday, March 17, 2013

Relasi antara Consciousness, Unconscious, dan Hermeneutika Menurut Pemikiran Jacques Lacan

Pendahuluan
            Menurut psikoanalisis Perancis Jacques Lacan (1901-1981), realitas merupakan tempat pelarian orang dari mimpi-mimpinya. Mimpi di sini adalah sesuatu yang berada pada alam bawah sadar (unconscious), juga merupakan suatu  hal yang lebih menakutkan daripada realitas. Mengapa demikian? Karena di dalam mimpi itulah seseorang merasakan, apa yang sebenarnya dia rasakan—suatu perasaan yang tidak enak. Untuk itulah diciptakan orde simbolik—konstruksi fantasi untuk menopang realitas yang kita alami sehari-hari, yang menstruktur relasi (mengatur interaksi subjek satu dengan subjek lain), dan menyembunyikan the Real. The Real di sini sembunyikan oleh apa yang kita sebut sebagai moral command  yang diturunkan dari the-name-of-the-father.
            Oleh karena itu, siapa kita akan selalu terkonstruksi oleh orang lain, tapi ada satu hal yang tidak dapat dikonstruksi oleh the other atau dijelaskan oleh orde simbolik, yaitu the Real.
            Poin penting yang harus kita catat dari penjelasan di atas adalah relasi antara consciousness (orde simbolik yang di dalamnya terdapat moral command) dan unconscious (mimpi yang berisikan the Real) saling tumpang tindih. 

Untuk mengatahui hubungan antara unconcious, consciousness, dan hermeneutika lebih detail lagi, sekiranya kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa itu the Real.

What is The Real?

 
Untuk menjelaskan apa itu the Real, pertama-tama Lacan menggambarkan relasi antara objek primordial, The Thing (the mother), objek a, dan fundamental fantasy:
         Objek primordial adalah kesatuan ibu dan anak sebelum terjadi frustasi primordial. Pada masa ini si subjek masih tidak bisa membedakan apa yang eksterior dan interior, ia seperti berada dalam totalitas tanpa batas. Kemudian, setelah terjadi frustasi primordial, subjek terpisah dari ibunya. Dalam konsep Lacan ibunya ini disebut sebagai the Thing. Keberadaan the Thing ini baru akan disadari subjek ketika ia telah kehilangan dirinya (the Thing). Maka yang ditemukan oleh si subjek di tempat ibunya itu, hanyalah jejak. Jejak inilah yang dinamakan Lacan sebagai objek a. Objek a ini sifatnya dapat diakses dalam dunia simbolik, akan tetapi juga sudah lack in itself sebelum ditransendensikan ke dalam simbol-simbol. Jadinya, ketika objek a telah diubah ke dalam bentuk simbolik, yang bisa kita kenali hanyalah jejak-jejak. Jejak-jejak yang dimaksud adalah
(1)   Jejak dari the Thing yang independen dari dunia simbolik, dan
(2)   Jejak simbolik dari jejak yang independen dari simbolik tadi. Tanda-tanda dalam dunia simbolik ini disebut jejak juga karena tanda tidak pernah hadir sepenuhnya.
           Proses transendensi objek a ke dalam simbol ini terjadi di fundamental fantasy. Selain tempat terjadinya proses simbolisasi, fundamental fantasy juga merupakan tempat terjadinya sublimasi dan hasrat-hasrat subjek bersarang. Menurut Freud, subjek ini dapat menemukan objek realitas sejauh ia terhubung secara aktual dalam masa pencariannya dengan objek primordial yang telah hilang itu (the Thing). The Thing ini hanya terletak dalam fundamental fantasi bawah sadar (unconscious). Namun dalam realitas sehari-hari, terdapat orde simbolik yang di dalamnya terdapat moral command (superego). Seperti larangan incest pada Oedipus Complex yang timbul karena the name of  father. Dan ternyata moral command ini malah menimbulkan jouissance dari rasa sakit karena tidak dapat memiliki The Thing. Oleh karena itulah, mengapa the Thing dikatakan oleh Lacan sebagai objek yang telah hilang dan tidak akan pernah ditemukan kembali. Karena dalam usaha pencariannya, subjek malah terpenjara dalam paradoks antara id dan superego yang dapat menimbulkan jouissance.  Padahal letak the Thing ada di alam bawah sadar (unconscious), yang mana bertentangan dengan superego yang berada dibawah kendali consciousness. 
            Superegoic jouissance inilah yang memenjarakan subjek ke dalam suatu repetisi yang mengabadikan paradoks antara id dan superego. Dikatakan di sini bahwa repetisi merupakan usaha pengulangan primordial yang selalu mengalami kegagalan namun justru dapat memberikan jouissance yang tak pernah terpuaskan. Jadi pada akhirnya The Real tidak akan pernah terungkap oleh si subjek.
            Dapat dikatakan bahwa apa yang dimaksud dengan the Real oleh Lacan ini,  sama dengan yang apa yang dimaksud sebagai ‘makna’ oleh Jacquest Derrida. Suatu pemahaman yang utuh tentang the Thing.
Kesimpulan
        Menafsirkan sebuah teks, atau berupaya untuk menyibak suatu makna yang terkandung dalam teks adalah pekerjaan seorang hermeneut. Akan tetapi mungkinkah ia dapat menghasilkan suatu makna yang sejati atau the Real? Jika mengacu pada pemikiran Lacan, hal tersebut tidaklah mungkin. Karena tidak ada satu pun konsep yang dapat mendeskripsikan seluruh partikularitas yang di dalamnya. Sebab tanda-tanda baik yang bisa diakses dalam dunia simbolik, maupun yang independen dari dunia simbolik, tidak pernah hadir seutuhnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah represi superego terhadap id / orde simbolik terhadap mimpi / consciousness terhadap unconscious.
 Satu-satu hal yang bisa dilakukan oleh seorang hermeneut adalah diskursus--melakukan interpretasi makna terus-menerus sesuai konteks dan kebutuhan.

Daftar Pustaka
 
Zizek, Slavoj. 2001. On Belief: Thinking in Action. New York: Routledge.

Chiesa, Lorenzo. 2007. Subjectivity and Otherness: A Philosophical Reading of Lacan. Cambridge: Massachusetts Institute of Technology.