Berbagai masalah yang timbul seperti dehumanisasi,
ekspoitasi, ataupun kriminalitas menurut Fritjof Capra (1939-sekarang)
disebabkan oleh kesalahan pada pola pikir manusia modern yang bersumber pada
paradigma yang mereka gunakan. Paradigma yang dimaksud oleh Capra adalah
paradigma mekanistik-linier Descartes dan Newton (paradigma Newtonian-Cartesian).
Paradigma yang telah mendominasi masyarakat sains selama tiga abad belakangan
ini, dinilai sudah tidak layak lagi digunakan, dan harus diganti dengan
paradigma yang baru.
Paradigma Newtonian-Cartesian mengobjekan dan mereduksi
kosmos sebagai sebuah mesin besar yang berjalan secara mekanistik-deterministik, yang mana tersusun dari bagian-bagian yang saling terpisah dan bersifat
materialistik. Segala sesuatu yang berada di luar mind (res cogitans) yaitu
alam fisik (res extensa) dianggap
sebagai the others yang digerakkan oleh
suatu hukum tertentu yang mekanistik. Mind
di sini dianggap sebagai jaminan satu-satunya bagi eksistensi subjek, yang mana
terpisah dari alam material.
Karena alam dipandang sebagai sebuah mesin yang berjalan
mekanistik-deterministik, maka satu-satunya cara untuk memahami mesin tersebut
tidak lain adalah dengan membongkar dan menelitinya. Di sini kemudian Newton,
menetapkan mekanika sebagai ilmu fundamental tentang gerak benda-benda. Yang mana
kemudian mekanikanya ini (yang mensyaratkan objektivitas dan rasionalitas) dijadikan
sebagai model oleh ilmu-ilmu lain.
Dari sini munculah kebiasaan orang untuk mengobjekan dan
mereduksi kompleksitas alam. Alam dipecah-pecah menjadi bagian-bagian tertentu,
interkoneksi diputus, dan relasi sebagai satu kesatuan utuh yang sistemik
dilupakan. Ilmu itu sendiri difragmentasi menjadi dua golongan, yaitu ilmu alam
yang berkaitan dengan res extensa dan
ilmu kemanusiaan yang berkaitan dengan res
cogitans. Dalam bukunya yang berjudul The
Web of Life, Capra mengatakan bahwa “systemic
properties are destroyed when a system is dissected, either physically or theoretically,
into isolated elements.” (1)
(1)
The Web of Life (London: Fritjof
Capra, 1997) hlm. 292
|
Untuk mengatasi krisis global tersebut, Capra mengusulkan
suatu paradigma sekaligus juga etika lingkungan hidup baru, yaitu paradigma
holisme-ekologis. Holisme berasal dari kata Inggris whole yang berarti keseluruhan. Holisme adalah cara pandang yang menyeluruh
terhadap realitas sebagai sesuatu yang sistemik, kompleks, dan dinamis. Sedangkan
ekologis adalah cara pandang yang melihat kosmos sebagai satu kesatuan sistem
yang komponen-komponennya saling berelasi dan interkoneksi satu sama lain. Singkatnya,
paradigma ini melihat alam semesta sebagai sistem organis secara menyeluruh.
Tujuan Capra membentuk paradigma holisme-ekologisi ini
adalah untuk membentuk manusia-manusia yang memiliki etika lingkungan hidup (ecoliterate). Ia yakin hal tersebut
dapat diwujudkan melalui program ekoliterasi.
Dalam karya tulisnya, Capra cenderung menggunakan bahasa
logis dan umum yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan, untuk
mendemonstrasikan dan mendukung gagasan-gagasan etikanya. Hal tersebut
dimaksudkan agar konsepsi filsafatnya ini tidak hanya dapat
dipertanggungjawabkan secara teoritis, namun juga dapat diimplementasikan pada
tingkat praktis.
Gagasan
Tentang Manusia dan Lingkungannya
Cogito ergo sum, merupakan
diktum yang sangat terkenal dari Rene Descartes. Di sini ia menempatkan mind sebagai penjamin eksistensi
manusia, sekaligus juga indikator yang membedakan manusia dengan hewan. Hewan
dipandang olehnya sebagai suatu materi (automata kompleks) yang tidak memiliki mind, dan diatur oleh hukum alam fisik
yang deterministik. Mind yang
dimaksud olehnya ini adalah suatu substansi yang samasekali terpisah dari alam
fisik.
Melalui Teori Kognisi Santiago karya Humberto Matunara
dan Varella, Capra membantah dulisme tersebut. Menurut Teori kontemporer ini, tubuh dan jiwa
merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Keterkaitan antara keduanya
dibuktikan oleh konsep mind. Mind di sini pertama-tama tidak dapat
disamakan dengan rasio (reason) atau
jiwa (soul). Mind adalah kegiatan mental atau kognisi yang mengada dalam tubuh (embodied). Di sini diandaikan bahwa
kegiatan berpikir (mind) selalu
membutuhkan media berupa tubuh yang bersifat material, dan terikat oleh hukum
alam.
Hal yang dapat ditangkap dari Teori Kognisi Santiago
adalah, ketidakterpisahan antara alam pikiran (res cogitans) dengan alam materi (res extensa) yang ditandai oleh suatu proses berpikir yang menubuh
(embodied)—yaitu mind. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada pengamat yang
independen, karena manusia selalu terikat oleh lingkungannya. Manusia dan
lingkungannya merupakan entitas yang saling mempengaruhi dan tak terpisahkan satu
sama lain.
Bumi, lingkungan hidup kita merupakan sebuah sistem atau
jejaring kehidupan, yang tersusun atas komponen-komponen yang saling terhubung
dan saling mengisi satu sama lain untuk sebuah harmoni. Dalam sebuah sistem,
apabila ada salah satu komponen yang terganggu, maka keseimbangan sistem secara
keseluruhan pun akan terganggu. Menurut Capra, posisi manusia dalam jejaring (nexus) kehidupan ini memegang peran yang
dominan. Ia mengatakan bahwa yang menjamin keberlangsungan peradaban, adalah
kerjasama dan tanggung jawab kita (manusia) terhadap alam, bukan objektivikasi
ataupun dominasi terhadapnya. “The
survival of our whole civilization may depend on wheter we can bring about such
a change.” (2)
Diktum
Holisme-Ekologis
Paradigma
Newtonian-Cartesian dikenal dengan diktum Cogito
ergo Sum (aku berpikir maka aku ada), sementara paradigma holisme-ekologis
dikenal dengan Respondeo ergo Sum-nya
(aku bertanggungjawab maka aku ada). Gagasan Respondeo ergo Sum mengatakan bahwa manusia berkewajiban untuk
memenuhi tanggung jawabnya sebagai manusia, demi keberlangsungan eksistensi
manusia itu sendiri.
Pertanyaannya
adalah, apa yang harus dipertanggungjawabkan oleh kita sebagai manusia? Jean
Paul Sarte dalam bukunya Being and
Nothingness mengatakan “Man
being condemned to be free carries the weight of the whole world on his
shoulders; he is responsible for the world and for himself as a way of being.” (3) Apa yang menurut Sartre harus
dipertanggungjawabkan oleh kita, manusia, adalah faktisitas kita sebagai being-in-the-world (Dasein).
Faktisitas adalah keterberian yang berada di luar pilihan kita, suatu kefaktaan
yang tidak dapat disangkal ataupun dielakan, namun hanya dapat
dipertanggungjawabkan. Misalnya seperti kelahiran, kebebasan, ataupun
eksistensi kita sebagai Dasein.
Pemikiran Sartre ini senada dengan Capra. Dalam bukunya Capra menulis:
“We are all members of humanity, and we all
belong to the global biosphere. We are all members
of oikos, the “Earth Household”, which is the Greek root of the “ecology”, and as such we should behave as the other
members of the household behave- the plants, animals,
and micro-organisms that form the vast network of relationships that we call
the web of life. This global living
network has unfolded, envolved, and diversified for the last three billion years without even being broken. The
outstanding characteristics of the Earth
Household is its inherent ability to sustain life. As members of the global community of living beings, it beholves us to
behave in such way that we do not interfere with
this inherent ability; this is the essential meaning of ecological
sustainability. What is sustained in a
sustainable community is not economic growth or development, but the entire web of life on which our
long-term survival depends. It is designed so that its ways of life, business, economy, physical
structures and technologies do not interfere with nature’s inherent ability to sustain life (Capra, The Hidden
Connections, p 250).
(2) The Turning Point (London: Fritjof
Capra, 1983) hlm. xx
(3) L’Etre et le NĂ©ant (Jean Paul Sartre,
1943) terj. Being and Nothingness (London: H.E. Barnes, 1957) hlm 231
|
Program Ekoliterasi: Manifestasi
Paradigma Holisme-Ekologis di Tingkat Praktis
Capra
merangkum hasil pemikirannya ini ke dalam beberapa prinsip yang disebut sebagai
prinsip-prinsip ekologis, yang mana akan disebarluaskan melalui program
ekoliterasi. Ekoliterasi adalah suatu kondisi di mana seseorang dapat memahami
dan menggunakan prinsip-prinsip ekologis untuk membangun komunitas-komunitas
yang berkelanjutan.
“We need to become, as it were, ecologically literate. Being
ecologically literate, or ‘ecoliterate’,
means understanding the principles of organization of ecological communities (i.e. ecosystems) and using
those principles for creating sustainable human communities. We need to
revitalize our communities-including our educational communities, business communities, and
political communities-so that the principles of
ecology become manifest in them as principles of education, management, and politics.” (4)
Prinsip-prinsip ekologis disebarluaskan dalam program ekoliterasi,
antara lain sebagai berikut:
Jaringan-jaringan
Pada semua skala alam, kita temukan sistem-sitem hidup yang berada
dalam sistem hidup lain jaringan dalam jaringan. Batas-batas mereka bukanlah
batas pemisah, melainkan batas identitas. Segala sistem hidup saling
berkomunikasi dan berbagi sumber daya melintasi batas-batas mereka.
Siklus
Semua organisme hidup harus menyerap aliran materi dan energi
terus-menerus dari lingkungan mereka untuk bertahan hidup, dan semua organisme
hidup terus-menerus menghasilkan sampah. Akan tetapi, suatu ekosistem tidak
menghasilkan sampah, karena sampah satu spesies menjadi makanan bagi spesies
lain. Dengan demikian, materi terus menerus berputar dalam suatu jaring-jaring
kehidupan.
Energi
Matahari
Energi matahari, yang diubah menjadi energi kimia melalui
fotosistesis tumbuhan hijau menggerakan siklus-siklus ekologis.
Kemitraan
Pertukaran energi dan sumber daya dalam suatu ekosistem didukung
oleh kerjasama yang dapat menembus batas-batas. Kehidupan tidak mengambil alih
planet ini melalui pertempuran, tetapi melalui kerjasama, kemitraan, dan
membuat jaringan.
Keragaman
Ekosistem-ekosistem mencapai stabilitas dan ketahanan melalui
kekayaan dan kompleksitas jaringan-jaringan ekologis mereka. Makin besar
keragaman hayati mereka, makin tangguhlah mereka.
Keseimbangan
Dinamis
Suatu ekosistem adalah jaringan fleksibel yang terus-menerus
berfluktuasi. Fleksibilitasnya adalah konsekuensi banyak lingkaran umpan balik
yang menjaga sistem dalam keadaan keseimbangan dinamis. Tak satupun variabel
yang dimaksimalkan, segala variabel yang dimaksimalkan, segala variabel
berfluktuasi sekitar nilai optimal mereka. (5)
(4) The Web of Life (London: Fritjof Capra,
1997) hlm. 289
(5) The Hidden Connections (London: Fritjof
Capra, 2002) hlm. 251
|
DAFTAR PUSTAKA
Capra, Fritjof. 1997.
The Web of Life: A New Synthesis of Mind
and Matter. London: Flamingo.
-----------------.
1983. The Turning Point: Science,
Society, and The Rising Culture.A New Synthesis of Mind and Matter. London:
Flamingo.
-----------------.
2002. The Hidden Connections: A Science
for Sustainable Living. London: Harper Collins Publisher.
----------------. 1975. The Tao of Physics: An Exploration of The Parrarels Between Modern
Physics and Eastern Mysticism. Fontana: Wildwood House.
Setiawan, Otto Trengginas. 2006. Skripsi: Filsafat
Holisme Ekologis: Tanggapan Terhadap Paradigma Cartesian-Newtonian Menurut
Pemikiran Fritjof Capra. Depok: UI Press.
Sartre,
Jean Paul. 1957. Being and Nothingness,
(Trans. H. E. Barnes). London: Methuen.