Dalam sejarah perkembangannya, positivisme memperoleh berbagai macam kritik
terutama karena teorinya yang dianggap telah gagal dalam menjelaskan fakta-fakta sosial dan ketidaktepatan metodologis dalam membangun sebuah teori. Kesalahan Comte yang paling fundamental ialah melakukan generalisasi terhadap segala sesuatunya. Setiap fenomena menurut Comte dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia—yang memiliki sifat yang tak berubah serta beroperasi melalui sebab-sebab konstan. Sebab bagi Comte, setiap fenomena yang ada harus mengikuti jalan yang sama dengan penemuan teori ilmu alam, khususnya ilmu fisika. Proses-proses sosial pun menurutnya dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu dan organisme biologis dapat direduksi ke dalam sistem fisika. Jadi dalam pembangunan sebuah teori sosial, teori tersebut harus didukung oleh analisis data statistik. Karena bagi Comte, hanya statistiklah yang dapat menguji fenomena sosial layaknya pengujian ilmu alam. Sebuah teori yang tidak didukung oleh data statistik tidaklah sahih dan tidak dapat disebut ilmiah.
Namun pandangan ini memiliki banyak kelemahan, diantaranya karena penelitan kaum positivis lebih bersifat verifikasi terhadap teori-teori yang sudah ada, sehingga manfaat terapan untuk perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat dirasa sangat terbatas. Selain itu,
pencarian fakta-fakta atau sebab-sebab dari gejala sosial di masyarakat tidak memperhatikan keadaan individu secara utuh. Responden dibagi ke dalam kategori-kategori tertentu atau klas-klas tertentu berdasarkan klasifikasi yang sudah ditentukan sebelumnya—tanpa melihat latar belakang mereka. Keutuhan responden sebagai individu diabaikan. Begitu juga dengan sensitifitas serta kemampuan refleksi filosofis para ahli ilmu sosial. Dalam pengumpulan data dan informasinya positivisme juga sering melibatkan banyak peneliti, sehingga pembiayaan secara finansial dianggap kurang efisien.
pencarian fakta-fakta atau sebab-sebab dari gejala sosial di masyarakat tidak memperhatikan keadaan individu secara utuh. Responden dibagi ke dalam kategori-kategori tertentu atau klas-klas tertentu berdasarkan klasifikasi yang sudah ditentukan sebelumnya—tanpa melihat latar belakang mereka. Keutuhan responden sebagai individu diabaikan. Begitu juga dengan sensitifitas serta kemampuan refleksi filosofis para ahli ilmu sosial. Dalam pengumpulan data dan informasinya positivisme juga sering melibatkan banyak peneliti, sehingga pembiayaan secara finansial dianggap kurang efisien.
Di sisi lain pandangan-pandangan kaum positivis ini jelas telah menyiratkan pandangan yang kacau, karena statistik tidak menggambarkan keteraturan, namun statistik hanyalah sebuah kumpulan kejadian-kejadian yang beragam di masa lalu. Kejadian-kejadian tersebut bukanlah sebuah variabel yang dapat dipastikan akan mempengaruhi kejadian di masa depan. Dengan penalaran bahwa fenomena yang telah direduksi ke dalam angka-angka statistik tidak lain merupakan suatu kumpulan fenomena di masa lalu. Oleh karena itu, pembangunan teori melalui data statistik merupakan hal konyol dan yang tidak masuk akal. Permasalahan tentang apakah suatu bidang ilmu bisa dikatakan ilmiah atau tidak ilmiah tentu bukanlah terletak pada penggunaan model matematis dan analisis statistik. Akan tetapi terletak pada kesesuaian asumsi-asumsi dalam epistemologisnya, dalam melihat objek material ilmu tersebut—yang tentunya dalam ilmu-ilmu sosial berbeda jauh dengan asumsi epistemologis ilmu alam.
Max Horkheimer dan teoritisi kritis lainnya melancarkan kritik yang didasarkan atas dua hal atas positivisme, yaitu ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti.
No comments:
Post a Comment