Monday, January 6, 2014

TINJAUAN KRITIS TERHADAP SUB BAB LAND ETHIC DALAM BUKU ENVIRONMENTAL ETHICS TODAY KARYA PETER S. WENZ



Abstrak
            Pada penulisan kali ini saya akan memaparkan isi lalu memberikan tinjauan kritis pada tiga sub bab dari bab VII yang berjudul “Land Ethic” dari buku Environmental Ethics Today karya Peter S. Wenz. Ketiga sub bab itu antara lain:
·         Why value ecosystem
·         Conflicting Moral Commitments
·         Tigers and Elephant in the Third World

Why Value Ecosystem?
            Kita tahu bahwa ekosistem dapat meregulasi kesehatan, kompleksitas, dan kekayaannya sendiri. Lantas mengapa kita harus khawatir jika ekosistem sedang surplus atau kurang sehat, kaya, dan kompleks?
            Keanekaragaman hidup (biodiversity) yang miskin, akan membahayakan keberlanjutan dari banyak spesies. Menjaga kelestarian dari berbagai spesies merupakan upaya untuk menjaga kesehatan ekosistem.  Upaya ini dapat disebut sebagai upaya yang antroposentris apabila kita melakukannya demi kebaikan manusia semata, dan menjadi holistik-nonathropocentric jika kita melakukannya demi kebaikan spesies itu sendiri. Aldo Leopold (1940) mengatakan “untuk mengubah ide tentang kegunaan lahan, berarti mengubah ide tentang kegunaan segala sesuatunya.” Leopold melihat teori evolusi merupakan salah satu upaya untuk mengubah ide tentang lahan dan kegunaan dari segala sesuatunya itu. Species fitness ialah: Spesies yang ada kini harus bersaing untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Setiap spesies harus dapat  mengembangkan karakter anggotanya untuk mengumpulkan makanan, menemukan pasangan untuk menghasilkan keturunan, dan menghindari predator.  
            Manusia juga makhluk sosial seperti banyak spesies lainnya. Kebertahanan manusia bergantung pada kerjasama antara sesamanya.  Pada chapter 1 kita telah melihat bahwa manusia tidak selalu selfish. Tidak jarang kita melihat mereka senang jika dapat membantu sesamanya. David Hume yang hidup sebelum Charles Darwin mengatakan bahwa manusia memiliki tendensi untuk selfish maupun unselfish. Tendensi kita untuk berperilaku unselfish (kooperatif) didorong oleh rasa simpati—yang mana merupakan dasar dari segala bentuk moralitas. Kita umumnya memuji seseorang sebagai orang yang bermoral ketika mereka dapat membantu  atau bersikap kooperatif terhadap sesama. Mengapa orang bermoral? Kebanyakan dari mereka mengatakan karena hal tersebut membuatnya merasa baik.  Dengan berperilaku bermoral, sentimen simpati seseorang akan terpuaskan. Tanpa adanya sentimen ini, orang-orang tidak akan dapat hidup bermoral, semuanya akan berperilaku seperti monster bagi yang lain.
            Sedikit orang yang mau memberikan simpatinya secara adil ke setiap orang. Pada umumnya orang-orang memilki sentimen dan keinginan untuk membantu yang kuat hanya pada keluarga, kelompok sosial, dan komunitasnya dibanding ke orang asing. Darwin mengatakan pada kelompok orang  yang teknologinya masih primitif, ada orang yang kejam yang Ia sebut “savages”. Savage ini akan mempertaruhkan hidupnya untuk melindungi sesama anggotanya, namun akan bersikap samasekali berbeda pada orang asing.  Komunitas kecil yang memiliki hubungan kekerabatan yang erat antar sesamanya, kerap memusuhi orang lain yang berada di luar komunitasnnya. Jarang sekali orang mau bersimpati apalagi bersikap kooperatif pada orang asing. Jadi menurut Darwin, secara natural sentimen simpati manusia hanya akan berlaku dalam komunitas orang masing-masing.
            Akan tetapi Callicott mengatakan bahwa batasan dari suatu komunitas tidaklah beku. Manusia kini telah memerluas sekop dan bentuk stukturnya menjadi super komunitas global. Dalam komunitas yang global ini terjadi perubahan perspektif dan terjalinnya kerjasama. Teknologi memudahkan kita untuk berkomunikasi dan mengetahui kebudayaan orang lain, sehingga orang yang dulunya asing, kini sudah tidak asing lagi. Setelah kita mengenal mereka, munculah rasa simpati dan peduli yang mendesak kita untuk mendeklarasikan bahwa semua orang itu memiliki human rights yang sama.
            Menurut Callicot, pengetahuan kita tentang ekologi juga dapat menumbuhkan rasa komunitas (sense of community). Menurutnya ekologi mengajari kita bahwa kita terikat pada ketergantungan dengan tanah, air, mikroorganisme, tumbuhan, dan binatang dalam ekosistem yang kita hidupi. Akan tetapi sebagaian besar anggota non-manusia dalam ekosistem kita tidak memiliki mengerti ketergantungan ini dan tidak menganggap bahwa mereka dan kita merupakan bagian dari komunitas yang sama.  Jadi dapat dikatakan bahwa ekosistem merupakan komunitas, secara metafor. Land ethic berasal dari metafor ini. Leopold mengatakan:
            “Semua etika berasal dari premis: bahwa setiap individu merupakan anggota dari komunitas yang saling bergantung satu sama lain. Insting mendorongnya untuk bersaing, sedangkan etika mendorongnya untuk turut berkerjasama. Land ethic memperluas batasan komunitasnya dengan melingkupi tanah, air, dan hewan yang tergabung menjadi: lahan (land).”
            Hanya jika manusia merasakan tanggung jawab moral terhadap sesamanya, mereka dapat merasakan tanggung jawab moral pada lahan beserta penghuninya. Secara singkat, Leopold mengafirmasi bahwa land ethic bertujuan untuk merubah peranan manusia dari penakluk menjadi anggota biasa dari komunitas lahan. Hal ini secara tidak langsung akan menumbuhkan rasa hormat antara sesama manusia dan anggota lain di dalamnya. Menurutnya sesuatu itu benar bila integritas, stabilitas, dan keindahan biokomunitasnya terjaga.
            Menurut Callicot, orang secara natural akan cenderung untuk mengadopsi  land ethic ini setelah memiliki kesadaran ekologis yang cukup. Akan tetapi meskipun pengetahuan tentang ekologi ini telah disebar di seluruh negara dengan bantuan teknologi, belum tentu pengetahuan ini akan diterima oleh semua orang. Karena masyarakat telah terbagi-bagi ke berbagai kebudayaan dengan pandangan dan norma (tatanan moral) yang berbeda-beda.
Conflicting Moral Commitments
            Maksim land ethic mengatakan bahwa sesuatu itu benar bila integritas, stabilitas, dan keindahan biokomunitasnya terjaga. Satu-satunya kebaikan di sini adalah kebaikan komunitas. Bila memburu rusa adalah suatu suatu kegiatan yang diperlukan untuk menyembuhkan biokomunitas, maka hal itu diperbolehkan. Selama usaha tersebut tidak ditempuh dengan membunuh predator alaminya, karena jalan ini dapat merusak merusak ekosistem. Merusak ekosistem merupakan tindakan yang tidak bermoral.
            Masalah terjadi ketika manusia mengalami ledakan populasi, sementara kualitas lingkungan menurun olehnya dan oleh karenanya suatu spesies terancam kepunahan. Jika kita menyingkirkan rusa untuk memperbaiki biokomunitas legal, maka seharusnya penyingkiran manusia juga legal. Akan tetapi banyak orang yang tidak setuju dengan hal ini, dengan alasan hal tersebut melanggar human rights. Tom Regan menyebut hal ini sebagai “enviromental facism” karena hak kelompok dianggap lebih penting daripada hak individual.
            Land ethic Leopold sebenarnya tidak sedemikian fasisnya. Leopold tidak bermaksud untuk menggantikan seluruh etika telah ada dengan maksimnya. Callicot mengatakan bahwa Ia hanya menambah rasa tanggung jawab manusia tanpa mengurangi tanggung jawab pada yang lama. Misalnya seseorang bisa saja memiliki tanggung jawab dan simpati yang besar terhadap diri dan kerabat dekatnya dibandingkan ke orang asing. Namun ia juga harus mengingat kewajiban kita pada kelompok sosial yang lebih besar seperti pada lingkungan kampus, kemudian komunitas lokal, negara, orang luar negri, institusi internasional, dan yang terakhir pada dunia non-manusia. Seseorang tidak harus menyisihkan manusia lain untuk mensejahterakan ekosistem dalam hal ini, karena kewajiban orang itu terhadap sesamanya (human beings) jauh lebih besar ketimbang tanggung jawabnya terhadap ekosistem. Inilah yang disebut dengan pendekatan concentric circle—kewajiban terhadap human beings tidak selalu melupakan kewajiban terhadap ekosistem. Contoh dari penerapan pendekatan ini misalnya kita lebih memilih untuk membeli mobil yang ramah lingkungan, dibandingkan dengan mobil sport yang bergengsi tapi boros energi. Atau membayar pajak, daripada membeli mainan yang tidak berguna.
Tigers and Elephant in the Third World
            Apa yang harus kita lakukan jika upaya pemenuhan kepentingan manusia menemui konflik dengan upaya pelestarian hewan dari kepunahan? Holmes Rolston menjawab:
“Apakah usaha kita menyelamatan alam menghasilkan kelaparan bagi orang-orang? Jawabannya ya. Dalam kurun waktu 20 tahun badak hitam Afrika mengalami penurunan drastis dari 65.000 menjadi 2500 ekor. Kini spesies tersebut terancam kepunahan. Penyebab dari kepunahan ini adalah perburuan liar untuk mendapatkan tanduknya. Orang-orang menjual tanduk tersebut untuk membeli makanan. Untuk mengatasi hal ini, Zimbabwe menetapkan peraturan yang keras berupa hukuman mati bagi para pemburu liar. Lebih dari 150 pemburu liar telah dihukum mati karena melanggar peraturan tersebut.“
            Rolston mengatakan, penyebab terjadinya kelaparan ini adalah keengganan kita untuk berbagi. Kita cenderung untuk menggunakan harta benda kita untuk memuaskan keinginan kita untuk pergi ke konser simfoni, membeli kado, biaya edukasi, membeli barang mewah, dan mengikuti tren yang sedang in, ketimbang memberi makan orang-orang yang kelaparan. Akan tetapi jika kita hanya memfokuskan perhatian kita pada upaya pemberian makan semata, sampai tidak ada lagi orang yang menderita kelaparan di dunia ini, bisa jadi peradaban kita justru akan lumpuh. Orang mungkin tak akan pernah menemukan smelted iron, menulis lagu, atau menemukan pesawat. Jadi demi perkembangan nilai-nilai peradaban dan kebudayaan, melindungi spesies dan ekosistem, kita mau tau mau memang harus merelakan orang-orang yang mati karena kelaparan. Bahkan bisa dibilang seharusnya kita menikmatinya.
            Di Ranthambor National Park, Rajasthan, India terdapat 40 macan yang kini keselamatannya terancam akibat tekanan dari meledaknya populasi manusia yang terus merusak ekosistem. Di dalam taman nasional itu, kini tinggal kurang lebih 200.000 jiwa penduduk India—jumlahnya meningkat dua kali lipat lebih dibanding 21 tahun yang lalu. Mereka memanfaatkan kayu yang ada di sana untuk memasak, dan menggunakan lahan yang ada untuk menggembala 150.000 lembu mereka yang kurus. Lembu-lembu yang ada dalam taman nasional tersebut telah menguras habis isi seisi habitatnya dan menyebarkan penyakit ke sarang makanan macan.
            Rolston mengatakan bahwa sumber penyebab ancaman kepunahan macan ini adalah akibat dari over populasi manusia dan ketidakmampuan manusia yang tinggal bersamanya untuk mengatur sumber daya alamnya secara cerdas. Seorang historian India, Ramachandra Guha memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya yang menyebabkan kerusakan alam sesungguhnya adalah pemburu liar, petani, politikus, dan profiteers. Kaum pribumi selama ini telah dikambinghitamkan. Kaum pribumi dan macan selama satu abad ini dapat hidup bersama dalam persaingan yang sehat. Akan tetapi kini sudah terdapat 6000 orang pribumi yang tinggal dan bersaing bersama macan di alam liar yang semakin sedikit. Untuk mengatasi hal ini, Guha menyarankan agar 6000 orang pribumi tersebut dipekerjakan untuk tenaga konservasi alam liar yang tersebar di 44 negara.
            Berbeda dengan Rolston yang dengan pesimis mengatakan bahwa manusia memang sudah harus berkorban demi menyelamatkan spesies lain. Guha menyarankan agar kita mengevaluasi kembali manajemen sumber daya alam liar kita agar tetap terjaga sekaligus dapat memberi keuntungan ekonomis bagi komunitas lokal.
            Namun menurut penulis, upaya untuk menghasilkan keuntungan ini mungkin akan menemui konflik dengan animal right dan upaya pelestarian spesies.
Lalu bagaimana dengan kasus perburuan gajah yang terjadi di Afrika? Pada tahun 1981 Africa memilki 1,2 juta gajah, namun jumlah tersebut menurun drastis hingga tinggal 620.000 ekor pada tahun 1989. Hal tersebut diakibatkan oleh harga jual gading gajah yang amat tinggi di pasar internasional. Sehingga orang-orang terdorong untuk melakukan perburuan liar terhadap populasi ini.
            Namun ada kalanya juga spesies ini mengalami over populasi, memiskinkan sumber daya yang ada, serta menginjak dan merusak ladang petani. Untuk membantu warga lokal, pemerintah setempat mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Dana itu didapat dari pajak pengeluaran lisensi untuk berburu. Pemburu dikenakan biaya sebesar 900-1000 $ setiap harinya, dan ongkos tropi sebesar 10.000$ untuk tiap ekor gajah, 3.000$ untuk singa, dan 1500 untuk kerbau. Akan tetapi karena biaya berburu itu mahal, maka tingkat penurunan populasi gajah dari kegiatan berburu jadi mengurang. Namun jika perdagangan gading gajah internasional dilegalkan kembali, ada kemungkinan jumlah gajah akan stabil kembali oleh perburuan liar.
            U.S Human Society sebagai pihak yang menentang pengurangan populasi dengan cara membunuh, memiliki alternatif lain untuk mengatasi masalah over polulasi gajah ini, yaitu dengan melaksanakan “pilot elephant contraception project”. Menurut penulis, cara ini mungkin ampuh untuk mengatasi over populasi gajah. Akan tetapi alternatif ini membutuhkan dana yang sangat besar, dan dapat menghambat usaha penduduk lokal untuk mendapatkan keuntungan dari pengeluaran lisensi berburu dan penjualan gading gajah.

TINJAUAN KRITIS
            Dari pembacaan saya terhadap tiga sub bab tentang Land Ethic tersebut ada dua hal yang ingin saya kritisi. Pertama tentang alasan mengapa kita harus melestarikan lingkungan, dan yang kedua adalah konfilk yang muncul dari upaya pelestarian alam tersebut. Berikut pembahasannya:
Mengapa kita harus melestarikan lingkungan?
            Pertama-tama saya setuju dengan argumentasi penulis yang mengatakan bahwa kita harus melestarikan spesies untuk menjaga keseimbangan ekosistem, meskipun bumi sudah memiliki hukum Gaia. Karena menurut saya alam memang membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memperbaiki dirinya kembali, sedangkan manusia terus mendayagunakan dan merusak badan alam setiap waktu. Jika kita hanya melakukan pengkonsumsian tanpa melakukan upaya pelestarian, maka badan alam akan krisis dan rusak sebelum Gaia berhasil memperbaiki dan menyediakan sumber daya alam yang baru untuk dikonsumsi kembali darinya.
            Hukum kekekalan energi (Termodinamika I) yang menyatakan bahwa “Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, melainkan hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain” mungkin dapat memberikan keluasan pada kita untuk mengkonsumsi energi alam sebanyak-banyaknya tanpa merasa khawatir akan mengalami kehabisan energi. Akan tetapi, bagaimana jika badan pengatur energi itu (ekosistem) telah rusak fungsinya? Atau bagaimana jika energi tersebut berubah menjadi energi yang tidak dapat dikonsumsi lagi oleh makhluk hidup setelah kita gunakan?

Kontroversi dalam upaya pelestarian alam
            Berdasarkan etika lingkungan hidup, tujuan kita untuk melestarikan spesies untuk menjaga keseimbangan ekosistem merupakan hal yang sudah pasti etis. Akan tetapi cara untuk mencapai tujuan etis secara etis inilah yang masih kontroversial.
            Kasus-kasus yang diangkat oleh penulis menunjukan bahwa upaya pelestarian alam ini selalu menciptakan konflik antara human rights dan animal rights. Pada kasus perburuan badak Afrika di Zimbabwe, lebih dari 150 orang pemburu liar dihukum mati karena melanggar animal rights. Kebanyakan dari mereka adalah penduduk lokal yang miskin, yang terpaksa membunuh badak untuk membeli makan dengan menjual tanduknya. Maka, dengan menetapkan hukuman mati terhadap pemburu badak, itu sama saja dengan membunuh penduduk lokal secara tidak langsung. Akan tetapi dengan melegalkan perburuan ini, keseimbangan ekosistem bisa terancam. Lalu pihak mana yang harus dibela, manusia atau badak? Pada kasus ini, atau kasus manapun, saya akan selalu memihak pada upaya penyelamatan ekosistem alam secara keseluruhan. Namun juga tidak dengan mengorbankan manusia atau dengan menyakiti hewan.
            Dalam arti saya mendukung adanya peraturan keras yang melarang perburuan hewan secara over dan menyiksa, atau pada hewan yang jumlahnya sedikit. Namun saya juga tidak mempermasalahkan perburuan manusia terhadap hewan, selama (1) pemburuan itu tidak mendekati atau lebih cepat dari kemampuan reproduksi hewan, (2) perlakuan manusia pada hewan itu baik (live happily die painlessly), dan (3) proses produksi dan konsumsi hewan tersebut efisien, bertanggung jawab, dan ramah lingkungan.
            Kembali ke kasus. Mengingat jumlah badak Afrika yang hanya tinggal 2500 ekor, saya setuju jika pemerintah Zimbabwe menetapkan hukuman mati bagi para pemburu liar. Namun adalah hal yang tidak etis jika pemerintah hanya mementingkan keberhasilan tujuan, tanpa mau bertanggung jawab pada konsekuensi yang ditimbulkan dari upayanya untuk mencapai tujuan tersebut. Jadi, jika pemerintah Zimbabwe menetapkan hukuman mati bagi para pemburu liar, maka sudah sepatutnya Ia juga bertanggung jawab atas kelaparan yang menimpa penduduk lokal akibat peraturan yang Ia buat. Misalnya dengan memberikan alternatif pengganti bagi penduduk lokal untuk mendapatkan makanan secara mandiri, selain dari kegiatan berburu. Katakanlah dengan memberikan modal berupa pendidikan berwawasan ekologis, membangun peternakan dan perkebunan yang habitatnya cocok di daerah tersebut, membuka jalur perairan, dll. Agar fungsi hukum untuk melestarikan alam dapat berjalan secara efektif tanpa mengorbankan human rights untuk hidup.

DAFTAR PUSTAKA
Wenz. Peter S. 2001. Environmental Ethics Today. USA: Oxford University Press. 
Capra, Fritjof. 1997. The Web of Life: A New Synthesis of Mind and Matter. London: Flamingo.
----------------. 2002. The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living. London: Harper Collins Publisher.