Abstrak
Pada
penulisan kali ini saya akan memaparkan isi lalu memberikan tinjauan kritis
pada tiga sub bab dari bab VII yang berjudul “Land Ethic” dari buku Environmental
Ethics Today karya Peter S. Wenz. Ketiga sub bab itu antara lain:
·
Why
value ecosystem
·
Conflicting
Moral Commitments
·
Tigers
and Elephant in the Third World
Why
Value Ecosystem?
Kita
tahu bahwa ekosistem dapat meregulasi kesehatan, kompleksitas, dan kekayaannya
sendiri. Lantas mengapa kita harus khawatir jika ekosistem sedang surplus atau
kurang sehat, kaya, dan kompleks?
Keanekaragaman
hidup (biodiversity) yang miskin,
akan membahayakan keberlanjutan dari banyak spesies. Menjaga kelestarian dari
berbagai spesies merupakan upaya untuk menjaga kesehatan ekosistem. Upaya ini dapat disebut sebagai upaya yang
antroposentris apabila kita melakukannya demi kebaikan manusia semata, dan
menjadi holistik-nonathropocentric jika kita melakukannya demi kebaikan spesies
itu sendiri. Aldo Leopold (1940) mengatakan “untuk mengubah ide tentang
kegunaan lahan, berarti mengubah ide tentang kegunaan segala sesuatunya.”
Leopold melihat teori evolusi merupakan salah satu upaya untuk mengubah ide
tentang lahan dan kegunaan dari segala sesuatunya itu. Species fitness ialah: Spesies yang ada kini
harus bersaing untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Setiap spesies harus
dapat mengembangkan karakter anggotanya
untuk mengumpulkan makanan, menemukan pasangan untuk menghasilkan keturunan,
dan menghindari predator.
Manusia
juga makhluk sosial seperti banyak spesies lainnya. Kebertahanan manusia
bergantung pada kerjasama antara sesamanya.
Pada chapter 1 kita telah melihat bahwa manusia tidak selalu selfish. Tidak jarang kita melihat
mereka senang jika dapat membantu sesamanya. David Hume yang hidup sebelum
Charles Darwin mengatakan bahwa manusia memiliki tendensi untuk selfish maupun unselfish. Tendensi kita untuk berperilaku unselfish (kooperatif) didorong oleh rasa simpati—yang mana
merupakan dasar dari segala bentuk moralitas. Kita umumnya memuji seseorang
sebagai orang yang bermoral ketika mereka dapat membantu atau bersikap kooperatif terhadap sesama.
Mengapa orang bermoral? Kebanyakan dari mereka mengatakan karena hal tersebut
membuatnya merasa baik. Dengan berperilaku
bermoral, sentimen simpati seseorang akan terpuaskan. Tanpa adanya sentimen
ini, orang-orang tidak akan dapat hidup bermoral, semuanya akan berperilaku
seperti monster bagi yang lain.
Sedikit
orang yang mau memberikan simpatinya secara adil ke setiap orang. Pada umumnya
orang-orang memilki sentimen dan keinginan untuk membantu yang kuat hanya pada
keluarga, kelompok sosial, dan komunitasnya dibanding ke orang asing. Darwin
mengatakan pada kelompok orang yang
teknologinya masih primitif, ada orang yang kejam yang Ia sebut “savages”. Savage ini akan mempertaruhkan hidupnya untuk melindungi sesama
anggotanya, namun akan bersikap samasekali berbeda pada orang asing. Komunitas kecil yang memiliki hubungan
kekerabatan yang erat antar sesamanya, kerap memusuhi orang lain yang berada di
luar komunitasnnya. Jarang sekali orang mau bersimpati apalagi bersikap
kooperatif pada orang asing. Jadi menurut Darwin, secara natural sentimen
simpati manusia hanya akan berlaku dalam komunitas orang masing-masing.
Akan
tetapi Callicott mengatakan bahwa batasan dari suatu komunitas tidaklah beku.
Manusia kini telah memerluas sekop dan bentuk stukturnya menjadi super
komunitas global. Dalam komunitas yang global ini terjadi perubahan perspektif
dan terjalinnya kerjasama. Teknologi memudahkan kita untuk berkomunikasi dan
mengetahui kebudayaan orang lain, sehingga orang yang dulunya asing, kini sudah
tidak asing lagi. Setelah kita mengenal mereka, munculah rasa simpati dan
peduli yang mendesak kita untuk mendeklarasikan bahwa semua orang itu memiliki human rights yang sama.
Menurut
Callicot, pengetahuan kita tentang ekologi juga dapat menumbuhkan rasa komunitas
(sense of community). Menurutnya
ekologi mengajari kita bahwa kita terikat pada ketergantungan dengan tanah,
air, mikroorganisme, tumbuhan, dan binatang dalam ekosistem yang kita hidupi.
Akan tetapi sebagaian besar anggota non-manusia dalam ekosistem kita tidak
memiliki mengerti ketergantungan ini dan tidak menganggap bahwa mereka dan kita
merupakan bagian dari komunitas yang sama. Jadi dapat dikatakan bahwa ekosistem merupakan
komunitas, secara metafor. Land ethic berasal
dari metafor ini. Leopold mengatakan:
“Semua etika
berasal dari premis: bahwa setiap individu merupakan anggota dari komunitas
yang saling bergantung satu sama lain. Insting mendorongnya untuk bersaing,
sedangkan etika mendorongnya untuk turut berkerjasama. Land ethic memperluas batasan
komunitasnya dengan melingkupi tanah, air, dan hewan yang tergabung menjadi:
lahan (land).”
Hanya
jika manusia merasakan tanggung jawab moral terhadap sesamanya, mereka dapat
merasakan tanggung jawab moral pada lahan beserta penghuninya. Secara singkat,
Leopold mengafirmasi bahwa land ethic
bertujuan untuk merubah peranan manusia dari penakluk menjadi anggota biasa
dari komunitas lahan. Hal ini secara tidak langsung akan menumbuhkan rasa
hormat antara sesama manusia dan anggota lain di dalamnya. Menurutnya sesuatu
itu benar bila integritas, stabilitas, dan keindahan biokomunitasnya terjaga.
Menurut
Callicot, orang secara natural akan cenderung untuk mengadopsi land
ethic ini setelah memiliki kesadaran ekologis yang cukup. Akan tetapi
meskipun pengetahuan tentang ekologi ini telah disebar di seluruh negara dengan
bantuan teknologi, belum tentu pengetahuan ini akan diterima oleh semua orang.
Karena masyarakat telah terbagi-bagi ke berbagai kebudayaan dengan pandangan
dan norma (tatanan moral) yang berbeda-beda.
Conflicting
Moral Commitments
Maksim
land ethic mengatakan bahwa sesuatu
itu benar bila integritas, stabilitas, dan keindahan biokomunitasnya terjaga.
Satu-satunya kebaikan di sini adalah kebaikan komunitas. Bila memburu rusa
adalah suatu suatu kegiatan yang diperlukan untuk menyembuhkan biokomunitas,
maka hal itu diperbolehkan. Selama usaha tersebut tidak ditempuh dengan membunuh
predator alaminya, karena jalan ini dapat merusak merusak ekosistem. Merusak
ekosistem merupakan tindakan yang tidak bermoral.
Masalah
terjadi ketika manusia mengalami ledakan populasi, sementara kualitas
lingkungan menurun olehnya dan oleh karenanya suatu spesies terancam kepunahan.
Jika kita menyingkirkan rusa untuk memperbaiki biokomunitas legal, maka
seharusnya penyingkiran manusia juga legal. Akan tetapi banyak orang yang tidak
setuju dengan hal ini, dengan alasan hal tersebut melanggar human rights. Tom Regan menyebut hal ini
sebagai “enviromental facism” karena
hak kelompok dianggap lebih penting daripada hak individual.
Land ethic Leopold sebenarnya tidak
sedemikian fasisnya. Leopold tidak bermaksud untuk menggantikan seluruh etika
telah ada dengan maksimnya. Callicot mengatakan bahwa Ia hanya menambah rasa
tanggung jawab manusia tanpa mengurangi tanggung jawab pada yang lama. Misalnya
seseorang bisa saja memiliki tanggung jawab dan simpati yang besar terhadap
diri dan kerabat dekatnya dibandingkan ke orang asing. Namun ia juga harus
mengingat kewajiban kita pada kelompok sosial yang lebih besar seperti pada
lingkungan kampus, kemudian komunitas lokal, negara, orang luar negri,
institusi internasional, dan yang terakhir pada dunia non-manusia. Seseorang
tidak harus menyisihkan manusia lain untuk mensejahterakan ekosistem dalam hal
ini, karena kewajiban orang itu terhadap sesamanya (human beings) jauh lebih besar ketimbang tanggung jawabnya terhadap
ekosistem. Inilah yang disebut dengan pendekatan concentric circle—kewajiban terhadap human beings tidak selalu melupakan kewajiban terhadap ekosistem. Contoh
dari penerapan pendekatan ini misalnya kita lebih memilih untuk membeli mobil
yang ramah lingkungan, dibandingkan dengan mobil sport yang bergengsi tapi
boros energi. Atau membayar pajak, daripada membeli mainan yang tidak berguna.
Tigers
and Elephant in the Third World
Apa yang harus kita lakukan jika upaya pemenuhan
kepentingan manusia menemui konflik dengan upaya pelestarian hewan dari
kepunahan? Holmes Rolston menjawab:
“Apakah usaha kita menyelamatan alam menghasilkan
kelaparan bagi orang-orang? Jawabannya ya. Dalam kurun waktu 20 tahun badak
hitam Afrika mengalami penurunan drastis dari 65.000 menjadi 2500 ekor. Kini
spesies tersebut terancam kepunahan. Penyebab dari kepunahan ini adalah
perburuan liar untuk mendapatkan tanduknya. Orang-orang menjual tanduk tersebut
untuk membeli makanan. Untuk mengatasi hal ini, Zimbabwe menetapkan peraturan
yang keras berupa hukuman mati bagi para pemburu liar. Lebih dari 150 pemburu liar
telah dihukum mati karena melanggar peraturan tersebut.“
Rolston
mengatakan, penyebab terjadinya kelaparan ini adalah keengganan kita untuk
berbagi. Kita cenderung untuk menggunakan harta benda kita untuk memuaskan
keinginan kita untuk pergi ke konser simfoni, membeli kado, biaya edukasi,
membeli barang mewah, dan mengikuti tren yang sedang in, ketimbang memberi
makan orang-orang yang kelaparan. Akan tetapi jika kita hanya memfokuskan
perhatian kita pada upaya pemberian makan semata, sampai tidak ada lagi orang
yang menderita kelaparan di dunia ini, bisa jadi peradaban kita justru akan lumpuh.
Orang mungkin tak akan pernah menemukan
smelted iron, menulis lagu, atau menemukan pesawat. Jadi demi perkembangan
nilai-nilai peradaban dan kebudayaan, melindungi spesies dan ekosistem, kita
mau tau mau memang harus merelakan orang-orang yang mati karena kelaparan. Bahkan
bisa dibilang seharusnya kita menikmatinya.
Di
Ranthambor National Park, Rajasthan, India terdapat 40 macan yang kini keselamatannya
terancam akibat tekanan dari meledaknya populasi manusia yang terus merusak
ekosistem. Di dalam taman nasional itu, kini tinggal kurang lebih 200.000 jiwa penduduk
India—jumlahnya meningkat dua kali lipat lebih dibanding 21 tahun yang lalu.
Mereka memanfaatkan kayu yang ada di sana untuk memasak, dan menggunakan lahan
yang ada untuk menggembala 150.000 lembu mereka yang kurus. Lembu-lembu yang
ada dalam taman nasional tersebut telah menguras habis isi seisi habitatnya dan
menyebarkan penyakit ke sarang makanan macan.
Rolston
mengatakan bahwa sumber penyebab ancaman kepunahan macan ini adalah akibat dari
over populasi manusia dan
ketidakmampuan manusia yang tinggal bersamanya untuk mengatur sumber daya
alamnya secara cerdas. Seorang historian India, Ramachandra Guha memiliki
pandangan yang berbeda. Menurutnya yang menyebabkan kerusakan alam sesungguhnya
adalah pemburu liar, petani, politikus, dan profiteers.
Kaum pribumi selama ini telah dikambinghitamkan. Kaum pribumi dan macan selama
satu abad ini dapat hidup bersama dalam persaingan yang sehat. Akan tetapi kini
sudah terdapat 6000 orang pribumi yang tinggal dan bersaing bersama macan di
alam liar yang semakin sedikit. Untuk mengatasi hal ini, Guha menyarankan agar
6000 orang pribumi tersebut dipekerjakan untuk tenaga konservasi alam liar yang
tersebar di 44 negara.
Berbeda
dengan Rolston yang dengan pesimis mengatakan bahwa manusia memang sudah harus
berkorban demi menyelamatkan spesies lain. Guha menyarankan agar kita
mengevaluasi kembali manajemen sumber daya alam liar kita agar tetap terjaga
sekaligus dapat memberi keuntungan ekonomis bagi komunitas lokal.
Namun
menurut penulis, upaya untuk menghasilkan keuntungan ini mungkin akan menemui
konflik dengan animal right dan upaya
pelestarian spesies.
Lalu bagaimana dengan kasus perburuan gajah yang
terjadi di Afrika? Pada tahun 1981 Africa memilki 1,2 juta gajah, namun jumlah
tersebut menurun drastis hingga tinggal 620.000 ekor pada tahun 1989. Hal
tersebut diakibatkan oleh harga jual gading gajah yang amat tinggi di pasar
internasional. Sehingga orang-orang terdorong untuk melakukan perburuan liar
terhadap populasi ini.
Namun
ada kalanya juga spesies ini mengalami over populasi, memiskinkan sumber daya
yang ada, serta menginjak dan merusak ladang petani. Untuk membantu warga
lokal, pemerintah setempat mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Dana itu
didapat dari pajak pengeluaran lisensi untuk berburu. Pemburu dikenakan biaya
sebesar 900-1000 $ setiap harinya, dan ongkos tropi sebesar 10.000$ untuk tiap ekor
gajah, 3.000$ untuk singa, dan 1500 untuk kerbau. Akan tetapi karena biaya
berburu itu mahal, maka tingkat penurunan populasi gajah dari kegiatan berburu
jadi mengurang. Namun jika perdagangan gading gajah internasional dilegalkan
kembali, ada kemungkinan jumlah gajah akan stabil kembali oleh perburuan liar.
U.S Human Society sebagai pihak yang
menentang pengurangan populasi dengan cara membunuh, memiliki alternatif lain
untuk mengatasi masalah over polulasi gajah ini, yaitu dengan melaksanakan “pilot elephant contraception project”.
Menurut penulis, cara ini mungkin ampuh untuk mengatasi over populasi gajah.
Akan tetapi alternatif ini membutuhkan dana yang sangat besar, dan dapat
menghambat usaha penduduk lokal untuk mendapatkan keuntungan dari pengeluaran
lisensi berburu dan penjualan gading gajah.
TINJAUAN KRITIS
Dari
pembacaan saya terhadap tiga sub bab tentang Land Ethic tersebut ada dua hal yang ingin saya kritisi. Pertama
tentang alasan mengapa kita harus melestarikan lingkungan, dan yang kedua
adalah konfilk yang muncul dari upaya pelestarian alam tersebut. Berikut
pembahasannya:
Mengapa
kita harus melestarikan lingkungan?
Pertama-tama
saya setuju dengan argumentasi penulis yang mengatakan bahwa kita harus
melestarikan spesies untuk menjaga keseimbangan ekosistem, meskipun bumi sudah
memiliki hukum Gaia. Karena menurut saya alam memang membutuhkan waktu yang
sangat lama untuk memperbaiki dirinya kembali, sedangkan manusia terus mendayagunakan
dan merusak badan alam setiap waktu. Jika kita hanya melakukan pengkonsumsian
tanpa melakukan upaya pelestarian, maka badan alam akan krisis dan rusak
sebelum Gaia berhasil memperbaiki dan
menyediakan sumber daya alam yang baru untuk dikonsumsi kembali darinya.
Hukum
kekekalan energi (Termodinamika I) yang menyatakan bahwa “Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, melainkan hanya dapat
diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain” mungkin dapat memberikan
keluasan pada kita untuk mengkonsumsi energi alam sebanyak-banyaknya tanpa
merasa khawatir akan mengalami kehabisan energi. Akan tetapi, bagaimana jika
badan pengatur energi itu (ekosistem) telah rusak fungsinya? Atau bagaimana
jika energi tersebut berubah menjadi energi yang tidak dapat dikonsumsi lagi
oleh makhluk hidup setelah kita gunakan?
Kontroversi dalam upaya pelestarian alam
Berdasarkan etika lingkungan hidup, tujuan
kita untuk melestarikan spesies untuk menjaga keseimbangan ekosistem merupakan
hal yang sudah pasti etis. Akan tetapi cara untuk mencapai tujuan etis secara
etis inilah yang masih kontroversial.
Kasus-kasus
yang diangkat oleh penulis menunjukan bahwa upaya pelestarian alam ini selalu
menciptakan konflik antara human rights
dan animal rights. Pada kasus
perburuan badak Afrika di Zimbabwe, lebih dari 150 orang pemburu liar dihukum
mati karena melanggar animal rights.
Kebanyakan dari mereka adalah penduduk lokal yang miskin, yang terpaksa membunuh
badak untuk membeli makan dengan menjual tanduknya. Maka, dengan menetapkan hukuman
mati terhadap pemburu badak, itu sama saja dengan membunuh penduduk lokal
secara tidak langsung. Akan tetapi dengan melegalkan perburuan ini,
keseimbangan ekosistem bisa terancam. Lalu pihak mana yang harus dibela, manusia atau badak? Pada kasus ini, atau kasus manapun, saya akan selalu memihak
pada upaya penyelamatan ekosistem alam secara keseluruhan. Namun juga tidak dengan
mengorbankan manusia atau dengan menyakiti hewan.
Dalam
arti saya mendukung adanya peraturan keras yang melarang perburuan hewan secara
over dan menyiksa, atau pada hewan
yang jumlahnya sedikit. Namun saya juga tidak mempermasalahkan perburuan
manusia terhadap hewan, selama (1) pemburuan itu tidak mendekati atau lebih
cepat dari kemampuan reproduksi hewan, (2) perlakuan manusia pada hewan itu
baik (live happily die painlessly), dan
(3) proses produksi dan konsumsi hewan tersebut efisien, bertanggung jawab, dan
ramah lingkungan.
Kembali
ke kasus. Mengingat jumlah badak Afrika yang hanya tinggal 2500 ekor, saya
setuju jika pemerintah Zimbabwe menetapkan hukuman mati bagi para pemburu liar.
Namun adalah hal yang tidak etis jika pemerintah hanya mementingkan keberhasilan
tujuan, tanpa mau bertanggung jawab pada konsekuensi yang ditimbulkan dari
upayanya untuk mencapai tujuan tersebut. Jadi, jika pemerintah Zimbabwe
menetapkan hukuman mati bagi para pemburu liar, maka sudah sepatutnya Ia juga bertanggung
jawab atas kelaparan yang menimpa penduduk lokal akibat peraturan yang Ia buat.
Misalnya dengan memberikan alternatif pengganti bagi penduduk lokal untuk
mendapatkan makanan secara mandiri, selain dari kegiatan berburu. Katakanlah
dengan memberikan modal berupa pendidikan berwawasan ekologis, membangun
peternakan dan perkebunan yang habitatnya cocok di daerah tersebut, membuka
jalur perairan, dll. Agar fungsi hukum untuk melestarikan alam dapat berjalan
secara efektif tanpa mengorbankan human
rights untuk hidup.
DAFTAR
PUSTAKA
Wenz. Peter S. 2001. Environmental Ethics Today. USA: Oxford University Press.
Capra, Fritjof. 1997.
The Web of Life: A New Synthesis of Mind
and Matter. London: Flamingo.
----------------.
2002. The Hidden Connections: A Science
for Sustainable Living. London: Harper Collins Publisher.